Lihat ke Halaman Asli

Menjadikan Anak Sebagai “Problem Solver”

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pembelajaran tidak akan pernah menjadi mengasyikkan, apabila semua peserta cenderung diam atau aktif tapi pasrah dengan hasil. Disinilah butuh para aktif yang kritis. Apa lagi dalam dunia perkuliahan, jika mahasiswanya tidak pernah berpikir kritis, suasana pembelajaran yang nampaknya sekarang hampir semua menggunakan presentasi antar kelompok, akan serasa mati.

Kritis yang dimaksudkan disini ialah kritis dalam hal berpikir dan menanggapi suatu pernyataan. Menurut seorang ahli bernama Beyer, ada enam karakteristik yang dimiliki oleh seorang yang berpikir kritis. Kritis berawal dari watak seseorang yang terbuka, menghargai kejujuran, dan respek terhadap berbagai hal, terutama data. Lantas karena ia mempunyai kriteria atau patokan dalam berpikir, ia kemudain mampu berargumen atas data yang ada. Dari sana lah muncul pertimbangan atau pemikiran dari berbagai premis yang ia temukan dan menyebabkan ia mempunyai sudut pandang tertentu dari suatu peristiwa, sehingga ia mampu menyampaikan prosedur penerapan criteria yang sesuai dengan peristiwa yang ia hadapi.

Seorang yang kritis, bisa jadi muncul karena dalam dirinya terdapat suatu sikap kreatif. Dan untuk membentuk pribadi yang kreatif itu, guru perlu memberikan kebebasan berkarya kepada anak didiknya. Misalnya berawal dengan karya konkrit berupa gambar bebas, dimana anak bebas memunculkan ide-idenya.

Dari sikap kritis dan kreatif anak inilah, diharapkan anak mampu memiliki keterampilan lebih untuk menemukan dan membentuk pemecahan suatu masalah, dengan kata lain menjadi seorang problem solver bagi dirinya sendiri. Namun berharap anak menjadi problem solver juga perlu memberikan latihan ringan kepadanya. Latihan yang diberikan dengan cara memberikan stimulus berupa masalah-masalah yang perlu diselesaikan dengan memberinya kesempatan berfikir dan mengkolaborasikan ide-ide yang ia miliki dalam memecahkan masalah tersebut. Tentunya, guru sendiri harus mampu menjadi problem solver pembentukan problem solver. J

Dalam memacu anak berpikir, kreatif dan menjadikannya sebagai problem solver, guru perlu tahu penggunaan otak belahan mana yang lebih dominan pada anak. Agar pembelajaran bisa dipadukan dan seimbang peranannya antara pengguna otak kanan yang memproses informasi secara keseluruhan dan berfungsi dalam kreativitas, dan otak kiri yang memproses informasi secara berurutan dan berfungsi untuk kegiatan motorik, berhububgan dengan logika, analisa, bahasa, dan matematika. Sehingga tujuan menjadikan mereka sebagai Problem Solver akhirnya tercapai maksimal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline