Lihat ke Halaman Asli

Perppu-Imunitas Berpotensi Melanggar Konstitusi

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah-tengah ketegangan hubungan KPK vs Polri, banyak kalangan meminta Presiden Joko Widodo turun tangan menggunakan kewenangannya selaku kepala pemerintahan dan Negara untuk “mendamaikan” kedua institusi tersebut. Diantaranya adalah mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Denny Indrayana. Seperti diberitakan detik.com, Sabtu 24 Januari 2015, Denny Indrayana mengatakan ada beberapa alternatif terkait penyelesaian kasus Bambang Widjojanto. Menurutnya, saat ini bukan hanya BW, namun KPK sedang dikriminalisasikan lewat pimpinan lainnya.. Presiden Jokowi diminta untuk menerbitkan Perppu. Faktor utama yang dilihat karena pimpinan KPK saat ini 'dikerjain' satu persatu. Dengan Perppu ini, pengaturan imunitas bagi pimpinan KPK diperoleh selama menjabat.

"Presiden menerbitkan Perppu karena satu-satu pimpinan KPK dikerjain satu-satu. Dia harus menerbitkan Perppu untuk mengatur satu saja imunitas bagi pimpinan KPK selama mereka menjabat. Jadi ada kekebalan hukum dari persoalan-persoalan pidana," katanya.

Hal yang sama juga diminta oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja agar Presiden Joko Widodo memberikan imunitas dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). “Kita perlu minta. Kemarin sudah dibicarakan, semua pegawai KPK minta dibuat dalam Perppu. Harapannya, agar dikeluarkan secepatnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada Pak Bambang Widjojanto dan imunitas buat kami”. “Kekebalan diperlukan agar pemberantasan korupsi tidak terhambat. Kami tidak berdaya karena ada kriminalisasi. Negara kita negara hukum, (perlu) ada impunitas sehingga kita terproteksi lagi,” kata Adnan, seperti yang dikutip kompas.com.

Permintaan yang sama juga datang dari pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. Dia berpendapat bahwa “Perppu kami harapkan bisa dikeluarkan Presiden untuk memberikan hak imunitas KPK, termasuk pekerja pemberantasan korupsi lainnya di Indonesia”.( www.rappler.com).

Saya meminta juga kepada yang terhormat Presiden Joko Widodo agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh permintaan yang tidak konstitusional tersebut. Mengapa? Karena hal ini dapat menimbulkan masalah baru. Coba bayangkan jika rakyat bangsa ini dari berbagai kalangan juga minta diterbitkan PERPPU yang sama. Misalnya, pedagang kaki lima dan sektor informal lainnya yang selama ini acapkali diuber-uber dan digusur oleh Satpol PP, juga minta imunitas agar mereka dapat mencari nafkah untuk keluarganya dengan tenang dan tidak digusur dan diuber-uber oleh Satpol PP. Belum lagi, pihak Polri juga minta hal yang sama. Pusingkan sampeyan sebagai Presiden Republik ini.

Sekali lagi mohon Presiden Joko Widodo tetap berpegang teguh pada konstitusi. Sebab jelas sekali dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya”. Apa jadinya jika Presiden memenuhi permintaan emosional tersebut di atas. Bukankah ini nanti dapat dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik Presiden sebagai peluang memakzulkan presiden ditengah jalan. Pasti sampeyan semua paham, nggak perlu saya bahas lebih jauh.

Well… dengan munculnya permintaan Perppu-imunitas ini, saya berpendapat hal ini disebabkan oleh belum sempurnanya sistem ketatanegaraan kita, khususnya sistem presidensial yang hendak kita bangun. Sehingga semua orang seenaknya menafsirkan dan meminta sesuatu apa yang seharusnya menjadi kewenangan seorang presiden di republik ini. Seolah-olah mereka merasa lebih paham tentang tugas dan kewenangan seorang Presiden ketimbang Presiden sesungguhnya. Ya… seperti permintaan di atas itu.

Hal ini sangat berbahaya untuk masa depan sistem ketatanegaraan kita. Mengapa? Bayangkan jika Presiden Joko Widodo memenuhi permintaan mereka itu, lalu apa yang menjadi payung hukumnya atas kebijakan presiden tersebut. Lalu bagaimana kita dapat menilai bahwa kebijakan presiden itu sudah benar atau keliru, ternyata kebijakannya itu menimbulkan kekacauan dalam penegakkan hukum disebabkan oleh para komisioner KPK dan jajarannya kebal hukum, sehingga bertindak semena-mena dalam peran dan tugasnya. Karena tidak ada jaminan bukan? Jika imunitas KPK itu tidak disalahgunakan kelak. Mereka juga manusia seperti saya dan sampeyan-sampeyan semua.
Baiklah biar tambah seru dan puyeng…Saya ingin mengajak kita semua mendiskusikan masalah penyempurnaan sistem ketatanegaraan kita, khususnya sistem presidesial yang saat ini berlangsung di republik ini.

Ramainya permintaan kepada Presiden segera mengeluarkan Perppu-imunitas ini, mengingatkan saya akan nasib Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan(RUU Lembaga Kepresidenan) yang belum juga disahkan menjadi Undang-Undang hingga di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini. RUU Lembaga Kepresidenan ini awalnya muncul pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Saya berharap ditengah kepusingan Presiden Joko Widodo menghadapi kekisruhan KPK dengan Polri, beliau tidak lupa bahwa betapa pentingnya RUU Lembaga Kepresidenan ini untuk segera disahkan dan atau diagendakan kembali untuk dibahas bersama DPR.

Prof. Dr. Pratikno mantan Rektor UGM yang sekarang menjabat Menteri Sekretaris Negara dalam Kabinet Presiden Joko Widodo pernah mengatakan: “selama ini kelemahan utama pada lembaga kepresidenan adalah belum adanya payung hukum (undang-undang) yang mengatur lembaga kepresidenan. Padahal dalam konteks “checks and balances”, UU tersebut sangat penting dalam menilai berbagai kebijakan presiden, apakah melakukan penyimpangan atau tidak? Dalam RUU Lembaga Kepresidenan tersebut akan diatur dengan jelas kewenangan, kewajiban, hak dan tanggung jawab Presiden dan Wakil Presiden serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Agar efektif, mestinya presiden harus dipayungi UU saat menjalankan aktivitasnya. Seandainya UU Lembaga Kepresidenan terbentuk, pasti konteksnya adalah penguatan posisi presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial. Prinsip utamanya adalah pemisahan eksekutif dan legislatif (separation of power) yang berarti check and balances. Dimana kedua lembaga ini menjadi pilar dari demokrasi perwakilan. Praktek check and balances yang kompleks jika tanpa diikuti dengan kemudahan dalam konsensus akan mengakibatkan dead lock democracy” (restorasinews.com).

Di samping itu, walaupun pengaturan hal-hal terkait Lembaga Kepresidenan (Presiden) sudah cukup memadai diatur dalam UUD Tahun 1945. Tetapi belum cukup tegas legitimasinya dalam hal yang terkait dengan tugas, wewenang dan relasi dengan lembaga Negara lainnya yang diakomodasi oleh peraturan organik dari konstitusi. Singkatnya, di antara lembaga negara lainnya, lembaga kepresidenan-lah yang belum memiliki payung hukum tersendiri secara lex spesialis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline