Lihat ke Halaman Asli

Ancaman Konflik Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia: Menjaga Keamanan dan Kekayaan Laut Nusantara

Diperbarui: 30 Mei 2024   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Resti Maulina C. C

Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan adalah laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km. Dengan kekayaan sumber daya alamnya dan memiliki posisi yang strategis sebagai jalur internasional. Namun dari keajaiban Laut Cina Selatan memiliki konflik yang cukup komplek hingga saat ini yaitu menjadi arena perebutan klaim maritim antar negara. Salah satunya Negara Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok) telah mengklaim dengan sebutan "Sembilan Garis Putus-Putus". Hal ini memicu konflik antar negara di wilayah tersebut termasuk Indonesia.

Ancaman konflik di Laut China Selatan bukan hanya isu geopolitik semata, tetapi juga memiliki implikasi langsung terhadap kedaulatan negara, keamanan maritim, dan kelanjutan perekonomian di Indonesia.

Awal mula konflik Laut China Selatan (LCS) kembali memanas, ketika China menuntut Indonesia untuk menyetop pengeboran minyak dan gas alam, karena mereka mengklaim wilayah itu adalah miliknya. Pasalnya, Indonesia sudah dengan tegas mengatakan bahwa ujung selatan laut Cina selatan merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik RI dibawah konvensi PBB tentang hukum laut, yang dinamai Laut Natuna Utara. Namun China merasa keberatan dengan perubahan nama itu dan bersikeras bahwa jalur itu berada dalam klaim teritorialnya di Laut China Selatan. Sengketa Laut China selatan telah terjadi sejak 1947 silam. Dasar yang digunakan China untuk mengklaim seluruh kawasan laut China Selatan yakni sembilan garis putus putus atau ninedash-line.

Berdasarkan informasi dari Kompas.Com kamis, Desember 2021 lalu China meminta Indonesia menghentikan pengeboran migas hal ini diungkapkan oleh salah satu anggota komisi pertahanan DPR RI Muhammad Farhan. Dalam rapatnya ia menerima pengarahan yang meminta menghentikan pengeboran sementara lepas pantai karena aktivitas tersebut dilakukan di wilayah China.

Dalam hal ini bagaimana sikap pemerintah? Pemerintah sendiri telah mengirim surat balasan yang menyebut bahwa protes tersebut tidak dapat diterima. Mengenai konflik di Natuna seorang pakar hukum Internasional UI Ari Afriyansah menyebutkan dalam wawancaranya disalah satu stasiun tv swasta menilai bahwa nota diplomatik kian menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial laut Cina selatan di Natuna namun menurutnya pemerintah Indonesia tak perlu bersikap reaktif apalagi bernegosiasi atau menunjukkan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional, menurutnya langkah reaktif akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China.

Upaya menjaga kedaulatan:

Konflik Laut Cina Selatan (LCS) belum selesai dan code of conduct (CoC) belum disepakati bahkan menjadi arena persaingan hegemoni Amerika Serikat dan Tiongkok lalu bagaimana agar Indonesia berkontribusi dalam mengelola konflik LCS?. Beberapa hal yang bisa di lakukan oleh pemerintah Indonesia adalah:

Indonesia sebagai ketua ASEAN 2023 diharapkan mampu membawa kemajuan dalam proses negosiasi kode etik perilaku terkait LCS, Indonesia dinilai perlu memiliki strategi khusus dalam memastikan hak dan kepentingan negara ASEAN ditengah sengketa LCS. Presiden Jokowi sendiri sudah menyiapkan strategi terkait sengketa LCS salah satu kuncinya yaitu patuh terhadap UNCLOS atau perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang hukum Laut 1982. Ia bahkan memperingatkan China atas klaim LCS yang tidak memiliki dasar hukum. "Semua klaim yang tidak memiliki dasar tidak boleh di biarkan terjadi. Karena itu kami memiliki kuncinya, Patuhi hukum Internasional", ujar Jokowidodo Presiden RI saat wawancara eksklusif senin, 8 Mei 2023.

Indonesia bukanlah pihak dalam sengketa kedaulatan di LCS namun, kekhawatiran Indonesia tetap muncul karena zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Natuna utara (Indonesia) termasuk dalam klaim kedaulatan China yang tidak logis . Dinamika ini membuat Indonesia serius mendorong negosiasi untuk merealisasikan Code od Condact (CoC) secepatnya. "ASEAN akan terus mendorong stabilitas di kawasan LCS, ASEAN ingin LCS menjadi daerah yang stabil, damai dan sejahtera" tegas Presiden Jokowi saat kunjungan ke Laut China Selatan.

Hingga saat ini kasus pelanggaran oleh kapal - kapal asing di Natuna Utara kerap terjadi, namun kenapa Indonesia tidak mengerahkan kapal perang TNI AL untuk mengatasi masalah tersebut?. Pada acara webinar Indonesia Strategic and defense studies, selasa 19 Maret 2024 Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Laksdya Irvansyah menegaskan bahwa "Untuk pertahanan di LCS tidak serta merta harus mengedepankan TNI AL khususnya, karena yang kita hadapi saat ini adalah kapal kapal sipil, kapal ikan Vietnam, kapal coast guard-nya China, kapal lain yang sebagian besar adalah kapal sipil". Dirinya menyarankan agar kapal kapal coast guard dimajukan dari pada unsur kapal perang TNI AL di Laut China Selatan (LCS). Sebab untuk saat ini pelanggaran pelanggaran yang  terjadi di LCS dilakukan oleh kapal kapal sipil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline