Awan gelap rupanya masih membayangi dunia pendidikan Tanah Air. Betapa tidak, dari tahun ke tahun jumlah anak yang tidak sekolah kian meningkat. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017 mencatat tak kurang dari 4.1 juta anak berusia 6-21 tahun tidak sekolah.
Angka itu berbanding lurus dengan melonjaknya angka pekerja anak, hingga mencapai 2,3 juta anak. Kenaikan yang hampir 50 persen dibanding dua tahun sebelumnya (1,6 juta di tahun 2015 - survei angkatan kerja nasional (Sakernas)). Sebuah potret buram tentang kondisi masa depan bangsa Indonesia.
Tingginya angka anak tidak sekolah itu tentu berkaitan erat dengan kondisi perekonomian mereka. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2017) ditemukan kesimpulan bahwa kelompok keluarga miskin lah yang mendominasi data tidak bisa melanjutkan sekolah.
Di sinilah seharusnya pemerintah berperan. Perlu diingat, pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Mereka berhak mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ketentuan ini sudah termaktub dalam UUD 1945 pasal 31.
Dulu, era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah dijalankan sejumlah gebrakan guna menekan angka anak tidak sekolah. Salah satu yang dinilai cukup berhasil adalah Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Program yang dimulai sejak tahun 2005 ini bertujuan untuk memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa. Dengan begitu, anak dari keluarga kurang mampu bisa bersekolah, sementara sekolah tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan pendidikan.
Memang pada awalnya, BOS merupakan pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) di bidang pendidikan. Namun program ini selanjutnya menjadi program rutin pemerintah di bidang pendidikan dalam upaya penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Program inilah yang menjadi embrio pendidikan gratis di SD/MI-SMP/MTs negeri dan swasta di seluruh Indonesia. Tentu saja tujuannya untuk mencegah untuk mencegah anak Indonesia tidak sekolah atau putus di tengah jalan.
Selama 10 tahun SBY menjabat, alokasi dana BOS terus meningkat setiap tahun. Mulai dari Rp 5,14 triliun pada tahun 2005, Rp 10,28 triliun (2006), Rp 9,84 triliun (2007), Rp 10,01 triliun (2008), Rp 16,4 triliun (2009), Rp 16,6 triliun (2010), Rp 19,86 triliun (2011), Rp 27,67 triliun (2012), Rp 27,48 triliun (2013) dan Rp 28,17 triliun (2014).
Banyak dampak positif BOS di bidang pendidikan. Di antaranya, pihak sekolah sudah tidak memikirkan kekurangan biaya operasional sekolah lagi dan tentunya anak-anak Indonesia dapat mengakses sekolah. Selain itu juga bisa meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya masing-masing.
Program BOS juga meningkatkan penerimaan sekolah. Daya akses seluruh lapisan masyarakat terhadap pendidikan juga semakin terbuka. Dengan dana BOS, sekolah dapat meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana belajar-mengajar, pendapatan guru (guru honor, guru kontrak, dan guru tetap), kegiatan ekstrakurikuler, pelajaran tambahan, dan mutu guru.