Lihat ke Halaman Asli

Menjawab Kesangsian Generasi Muda Pimpin Negara

Diperbarui: 17 Juli 2018   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(prfmnews.com)

"Pengabdian itu tidak mengenal usia. Kehidupan seorang samurai tidak diukur dari panjangnya, kan?" --- 13 Assassins/Jsan-nin no shikaku (2010)

Baru-baru ini, seorang anak muda berusia 18 tahun, telah mengukir sejarah sehingga membuat bangga bangsa Indonesia di kancah dunia. Namanya, Lalu Muhammad Zuhri, sprinter asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berhasil meraih medali emas di Kejuaraan Dunia Atletik 100 meter putra U-20 di Tempere, Finlandia.

Ini pertama kalinya Indonesia mampu menyabet gelar prestisius dari gelaran yang sudah berlangsung selama 32 tahun itu. Prestasi yang diraih Zuhri, setidaknya bisa memberikan inspirasi, bahwa usia muda bukan halangan untuk mengabdi, dan memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.

Inspirasi itu juga berlaku dalam dunia politik. Usia tidak semestinya menjadi tolok ukur akan kelayakan seseorang dalam memimpin sebuah negara. Lihat saja tren yang terjadi saat ini. Banyak negara maju yang mulai mempercayai generasi muda mereka untuk memegang tampuk kendali pemerintahan. Emmanuel Macron misalnya. Pemuda yang masih berusia 39 tahun itu dipilih oleh rakyat Perancis sebagai presiden mereka.

Lalu ada juga Perdana Menteri Estonia, Juri Ratas yang berumur 38 tahun. Kemudian PM Ukraina, Volodymyr Groysman (38 Tahun), PM Kanada Justin Trudeau (44 Tahun), PM Yunani Alexis Tsipras (35 Tahun), Presiden Polandia Andrzej Duda (43 Tahun), Presiden Georgia Giorgi Margvelashvilli (44 Tahun), dan PM TunisiaYoussef Chahed (40 Tahun). Mereka semua telah menunjukkan kapasitas sebagai seorang pemimpin, meski dari segi usia masih terbilang muda.

Negeri kita sebenarnya juga tidak kekurangan figur muda yang bisa menjadi pemimpin masa depan. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) salah satunya. Tokoh muda berusia 40 tahun yang telah menunjukkan kharisma kepemimpinan dan juga kedewasaan dalam berpolitik.

Lihat saja di Pilkada DKI Jakarta. Komandan Kogasma Partai Demokrat ini telah menjadi sosok pemersatu. Ia dekat dengan kedua kubu lawan, yang berseteru dalam berkompetisi yang teramat keras. Ia menunjukkan kedewasaan dengan mengakui kekalahan, bahkan hadir dalam pelantikan, dan datang membezuk saingan lainnya yang di kurung dalam tahanan.

Namun, satu hal yang membuat AHY dianggap layak meneruskan jejak ayahnya dalam memimpin bangsa ini, adalah kedekatannya dengan rakyat. Selama hampir setahun penuh, putra sulung Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini berkeliling Nusantara. Ia berkunjung hampir setiap pelosok negeri, kota maupun desa, bahkan tak jarang ia dan rombongan harus bermalam di tenda. Tujuannya hanya satu, mendengar aspirasi dan melihat secara langsung sejumlah masalah yang didera rakyat, untuk diperjuangkan dalam pemerintahan mendatang.

Hal ini setidaknya dapat menjawab kesangsian sejumlah pihak yang mempertanyakan pengalaman AHY sebagai seorang pimpinan. Memang, AHY belum pernah menjabat di pemerintahan, tetapi ia sudah memiliki modal yang amat berharga, sesuatu yang mungkin tidak dimiliki calon pemimpin yang sudah senior sekalipun, yakni mengetahui dengan rinci setiap persoalan yang dihadapi rakyat saat ini.

Dengan modal itu, AHY akan mampu menjadi seorang pemimpin besar, karena sejak jauh-jauh hari ia telah memikirkan solusi, agar bisa diterapkan saat memimpin nanti, demi menciptakan kehidupan rakyat Indonesia lebih sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline