"Kamu nggak masuk 3 besar ya, Rin?"
Pertanyaan itu sontak membuat Arin menundukkan kepala, terdiam memandangi angka-angka yang ada di buku raportnya.
"Padahal cuma selisih 10 angka sama Nia, tapi kamu nggak masuk 10 besar," ucap ibu dari sahabatnya, membuat Arini hanya bisa diam.
"Iya tuh Mah, aku kan emang lebih pintar dari Arin," timpal Nia, sahabat Arin.
Anak perempuan yang mengenakan seragam merah putih itu semakin tertunduk dalam. Hatinya perih mendengar dirinya terus dibanding-bandingkan.
"Aku akan buktikan kalau aku juga bisa masuk 3 besar. Bahkan mengalahkan Nia," batin Arin. Dia bertekad akan lebih giat belajar.
Hari ini adalah hari pembagian rapor bagi murid kelas satu sekolah dasar. Para orang tua yang sudah mengetahui hasil nilai dan peringkat anaknya, saling bertanya untuk membanggakan prestasi anak mereka. Para siswa berprestasi pun terlihat sangat senang saat orang tuanya membanggakan namanya di hadapan wali murid lain.
Sungguh berbeda dengan Arin. Tak ada orang tua yang datang ke sekolah untuk mengambilkan raportnya. Anak perempuan kelas satu sekolah dasar itu mengambil sendiri buku rapornya. Bukan tidak mau orang tuanya datang. Namun, Arin adalah anak yatim piatu. Ia hanya hidup dengan sang nenek yang sudah tua renta dan sang adik yang masih berumur 3 tahun.
"Arin, ayo pulang!"
Tepukan di bahu kanannya membuat Arin tersadar dari lamunan. Ia mengangguk, lalu mengambil tas berwarna pink yang diletakkan begitu saja di dekat tiang.
"Nanti jam dua, kita main, ya?" ajak Nia, yang langsung mendapat penolakan dari Arin. Bukan Arin tidak mau bermain, hanya saja ada kewajiban yang tidak bisa ia tinggalkan.