Ini cerita kenangan masa kecil saat saya berkenalan pertama kali dengan gereja. Dikenalkan oleh seorang kakak sebut saja Mas A. Keluarga besar kami memiliki beragam keyakinan baik dari pihak bapak maupun ibu.
Mas A adalah pemeluk katolik yang taat. Suatu hari saya dan kakak sebut saja mas B diajak ke gereja. Seharusnya untuk anak anak ada sekolah minggu tapi mas A malas mondar mandir mengantar maka kami diajak saat misa minggu sore sebagai pengenalan. Usia kami dengan mas A terpaut jauh. Usia saya sekitar 5 tahun dan mas B terpaut setahun lebih tua. Mas A sendiri sudah lulus sekolah menengah.
Sore itu kami sudah didandani ibu dengan baju yang terbagus yang kami punya. Maklum keluarga kami bukan keluarga mampu sehingga baju bagus yang kami punya hanya beberapa potong. Dengan naik becak kami menuju katedral. Biasanya jika ke gereja sendirian mas A jalan kaki atau bersepeda. Karena saya gembul maka tidak cukup bonceng dua jika mengendarai sepeda. Bagi bocah kecil seperti saya yang jarang bepergian naik becak terasa sangat menyenangkan. Rasanya wah, bisa melihat banyak mobil dijalan dan merasakan terpaan angin yang merusakkan kunciran.
Sesungguhnya saya mau diajak ke gereja karena saya dijanjikan akan dibelikan jajan sepulang misa dan saya boleh bermain dihalaman gereja yang luas dengan taman yang hijau. Meski gendut saya sangat lincah bergerak seperti bola bekel yang melenting kesana kemari.
Sebelum masuk kedalam gereja didinding sebelah kiri dan kanan pintu masuk terdapat bagian yang cekung berisi air. Para jemaah memasukan tangannya ke wadah air lalu membuat tanda salib dimulai dari dahi, dada, bahu kanan lalu bahu kiri. Baru setelah itu mereka memasuki bagian dalam gereja. Curious ,air apa sih itu? Sambil jinjit saya masukkan tangan lalu saya obok obok dengan dua tangan kemudian saya pakai cuci muka. Begitu juga mas B. Ternyata itu cuma air biasa. Hanya terasa dingin. Bedak yang saya pakai langsung luntur. Ketika akan mengobok obok lagi mas A lalu menarik tangan saya dan berkata ' gak pareng ( gak boleh)'. Dengan wajah basah tangan kami ditarik masuk kedalam dan memilih duduk dibangku tengah.
Sebenarnya saya enggan masuk keruang dalam, saya lebih suka bermain dihalaman. Guling-guling dirumput hijau sambil main petak umpet rasanya lebih mengasyikkan. Dengan terpaksa saya duduk manis, begitu juga mas B. Misapun dimulai. Ada doa, lagu pujian, khotbah Romo dan suster yang keliling mengedarkan kantong kain yang diikat diujung tongkat kayu. Ingin tahu, ketika suster mendekat ke bangku kami saya masukkan tangan kedalam kantong. Wah ternyata isinya uang, ada banyak koin dan beberapa kertas. Saya aduk isi kantong merasakan sensasi memegang uang banyak, sangat menyenangkan. Ada pikiran nakal untuk mengambil beberapa keping. Tiba tiba suster menggerakkan tongkat sehingga tangan saya tersentak keatas sehingga terlepaslah kepingan koin yang sudah saya genggam. Rupanya suster tahu kalau saya mau ngutil. Mas A lalu menarik kami untuk duduk manis
(lagi) dan berucap (lagi) ‘gak pareng‘.
Berkali kali saya melihat kearah pintu berharap misa cepat selesai. Halaman dengan taman yang hijau terasa memanggil manggil. Bosan duduk manis saya merosot kebawah bangku mengintip Romo dari celah bangku. Sekali lagi mas A meminta untuk duduk manis dan mengatakan kalau sebentar lagi pulang. Ternyata benar tak lama kemudian misa berakhir. Mas A memegang erat tangan kami agar tak lari duluan keluar ruangan. Sampai diluar Mas A tetap memegang erat tangan kami langsung menuju kearah becak yang parkir diluar pagar. Yaah, pupus sudah harapan berguling guling ditaman dan lari larian hari itu.
Minggu berikutnya kami diajak lagi ikut misa dengan jam yang sama. Seperti minggu lalu kami dijanjikan jajan dan boleh bermain dihalaman gereja. Kali ini saya dan mas B tidak mengobok obok air lagi. Didalam gereja kami duduk manis. Ternyata duduk manis itu pekerjaan yang membosankan. Ketika peribadatan berlangsung, saya dan mas B mulai bermain suit, ser etek etek sambil tertawa tawa. Kalian tahu permainan ser etek etek? Itu permainan dua orang dengan menepuk telapak tangan lawan sambil bernyanyi ‘ser etek etek sur gedebug cuklek’. Saya tidak tahu apa arti ser etek etek tapi gedebug cuklek artinya jatuh dan patah. Mas A lalu melirik kami dan ‘ssstt gak boleh rame ayo duduk manis’. Dengan sedikit kesal kami pun duduk diam. Rasanya lama sekali ibadah kali ini, sangat membosankan.
Tiba waktu pemberian roti kudus mas A berdiri berbaris menuju Romo yang membagikan roti bulat berwarna putih yang akan disuapkan kepada Jemaah. Tiba tiba mas B keluar bangku dan masuk kedalam barisan. Saya langsung berteriak ‘jangan nggak boleh nanti dimarahi‘. Tapi mas B tidak menghiraukan. Saya lihat Romo seperti berbicara sesuatu padanya lalu menyuapkan roti kedalam mulutnya. Balik kebangku mas B langsung mengatupkan tangan berdoa. Selesai berdoa saya tanya, Kamu nggak dimarahi Romo? Tadi Romo ngomong apa?‘ Mas B bercerita bahwa Romo bertanya ,’Kamu belum dibaptis?‘ dijawab ‘belum’. Saya tanya bagaimana rasa rotinya, gak enak gak ada rasanya‘.Rupanya mas B cuma ingin tahu rasa roti kudus itu. Dikiranya rasanya seperti apa gitu. Menyesal saya tidak ikut berbaris tadi. Oh ya, kali ini kami tidak usil memasukkan tangan kedalam kantong kolekte. Suster yang bertugas cepat mengalihkan kantong ketika melewati bangku kami. Padahal tangan kami sudah dalam posisi bersiap masuk kantong. Sedikit kecewa dan melongo ketika suster dengan tanpa ekspresi melewati bangku kami. Kejaaam.
Bubar misa, seperti minggu lalu, mas A langsung menuju becak yang berbaris ditepi jalan. Tidak ada waktu untuk bermain dihalaman gereja. Alasannya keburu malam. Yailah, emang berangkatnya sudah sore bagaimana sih. Dengan sedikit gondok saya duduk dibagian tengah , pulang.