Lihat ke Halaman Asli

Jelajah Chiang Rai

Diperbarui: 17 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sore sekitar pukul 16.00 waktu Bangkok pesawat yang saya tumpangi mendarat di bandara Don Muang. Cuaca cerah dengan sinar matahari yang menyengat menyapa saya di hari pertama perjalanan ke Thailand. Ini adalah pertama kalinya saya ke Thailand. Berbekal informasi yang sudah saya kumpulkan sebelumnya saya pun siap berkelana.

Turun dari pesawat saya bermaksud menuju Chiang Mai menggunakan moda kereta api. Bergegas saya menuju stasiun kereta api Don Muang yang terletak diseberang Bandara Don Muang. Kita harus naik kelantai 2 bandara lalu keluar menuju jembatan penyeberangan. Awalnya saya agak bingung, seorang petugas bandara yang hendak pulang meminta saya untuk mengikutinya karena dia juga menuju arah yang sama. Sampai distasiun saya harus kecewa karena tiket sleeper yang saya inginkan sudah habis terjual. Yang tersisa hanya kelas ekonomi. Tidak terbayang betapa lelahnya 12 jam perjalanan dengan kelas ekonomi yang kursinya tegak, sebagaimana yang permah saya alami untuk jurusan Surabaya-Jogya. Akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan moda bis. Untuk itu saya harus kembali ke bandara, menggunakan bis kota A1 menuju stasiun bis Mochit.

Sesampai distasiun bis Mochit kejutan lain menyapa. Semua petunjuk dalam bahasa Thai yang keriting dan membuat saya blank. Ternyata begini rasanya menjadi seorang buta huruf. Bingung dan tidak mengerti mau apa. Petugas juga tidak bisa berbahasa Inggris. Apalagi wajah saya mirip orang Thai maka mereka terus bicara tanpa peduli jawaban saya ‘ sorry I can’t speak Thai’. Dalam kebingungan ada seorang sales tiket bis mendekat. Sepertinya dia bertanya kemana tujuan saya. Saya hanya sebutkan ‘Chiang Mai’ dia langsung mengarahkan kesalah satu counter. Thanks God, petugasnya bisa berbahasa Inggris. Awalnya saya menanyakan tiket ke Chiang Mai, entah kenapa kemudian saya bertanya apakah ada yang langsung ke Chiang Rai. Ternyata ada dan saya dipersilahkan memilih seat. Saya pilih didepan dibelakang sopir dekat jendela. Bis yang saya tumpangi adalah NCA dengan harga B 685 atau Rp.274,000.-

Pukul 20.30 tepat bis datang. Yang saya sukai dari bis di Thai ini adalah ketepatan waktunya. Toleransi keterlambatan hanya 10-15 menit untuk cek penumpang. Awalnya saya tidak berharap terlalu banyak karena penampilan bisnya biasa saja. Tapi ternyata fasilitas dan pelayanannya patut diacungi jempol. Dengan tarif sekian saya dapat selimut (acnya dingin sekali) ,makan malam 2x, aqua 1 botol, 1 kotak juice, tissue basah, roti isi untuk sarapan, televisi disetiap seat dan (ini yang sangat saya suka) reclining massage seat. Sepanjang perjalanan 12 jam tidak terasa melelahkan karena sistim massagenya saya jalankan terus. Pramugaranya seorang pemuda berumur sekitar 20 tahunan. Rapi dengan rambut jambul model masa kini. Sikapnya ramah dengan bahasa yang halus. Sopirnya juga rapi berseragam seperti pilot.Bagian dalam bis sangat bersih dan rapi. Bis melaju dengan kecepatan konstan. Tidak ada ngebut atau menyalip meski jalanan lengang. Saya jadi membandingkan dengan bis antar kota di Indonesia yang masih kalah jauh dari segi fasilitas dan pelayanan.

Pukul 6 pagi bis memasuki terminal bis 2 Chiang Rai. Ini adalah terminal bis baru. Berdasarkan info yang saya kumpulkan bis seharusnya juga masuk ke terminal 1 atau old bus station, tapi ternyata terminal bis 1 sedang direnovasi. Untuk menuju terminal bis 1 kita harus naik angkot atau songtaew dengan tarif B15. Songtaew di Chiang rai semuanya berwarna biru. Songtaew ngetem cukup lama. Sambil menunggu penumpang penuh saya ngobrol dengan seorang turis pria dari Israel bernama Rane. Dia bercerita tentang pengalamannya backpacker ke beberapa negara. Rupanya kami juga sama sama membatalkan kunjungan ke Luang Prabang dikarenakan jarak tempuh 20 jam lewat darat yang pastinya melelahkan.

Dari terminal bis 1 saya cukup jalan kaki menuju hostel yang sudah saya pesan sebelumnya. Saya sudah melengkapi alamat hostel dalam bahasa Thai untuk mempermudah pencarian. Saya tinggal tunjukkan kepada orang yang saya temui dan mereka langsung menunjukkan arah. Penduduk Chiang rai umumnya ramah dan welcome kepada turis.

Chiang Rai sering disebut sebagai saudara kembar - mawar dari utara- Chiang Mai. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai tetangga Chiang Mai yang sunyi. Dibandingkan Chiang Mai yang ramai maka Chiang Rai adalah daerah pedesaan, cocok bagi pengunjung yang ingin menghindari keramaian. Chiang Rai telah dihuni sejak abad ke 7 dan pada tahun 1.262 oleh Raja Meng Rai dijadikan sebagai ibukota pertama Kerajaan Lanna. Tapi setelah Ibukota dipindahkan ke Chiang Mai sejak saat itu Chiang Rai hanyalah sebagai bayang-bayang saudara kembarnya.

Selepas mandi saya bergegas kembali ke terminal bis untuk mencari angkot ke destinasi yang sudah lama saya impikan Wat Rong Khun atau White Temple. Ada sebuah songtaew yang hendak ke terminal bis 2. Didalamnya sudah duduk 4 orang turis. 1 pasangan akhirnya turun karena songtaew tidak segera berangkat. Semua songtaew di Chiang rai berwarna biru tanpa petunjuk tujuan dibadan mobil. Jadi kita harus bertanya arah tujuan setiap kali hendak menggunakan transportasi ini. Selain itu mereka juga dengan seenaknya mengubah tarif kepada turis sehingga sering kali harus twar menawar terlebih dahulu. Kecuali di terminal 2 dimana tarif songtaew ditulis besar disebuah banner. Setelah menunggu lama akhirnya songtaew berangkat juga dengan penumpang hanya kami bertiga dengan tarif B40. Ditengah jalan ada penumpang lain-warga lokal- yang naik. Ketika penumpang ini turun, saya yang masih diliputi keraguan apakah songtaew ini akan melewati jalur menuju Wat Rong khun ikut turun untuk bertanya kepada sopir. Sialnya baru saja saya turun sopir langsung tancap gas. Saya berteriak teriak memanggil tapi mobil tidak berhenti. Dua penumpang didalamnya hanya bisa bengong. Hmm, awal hari yang kurang bagus.

Saya pun mencari tumpangan lain. Sebuah songtaew mendekat –sopirnya seorang wanita- dan meminta tarif B100 dengan alasan jauh. Saya tolak karena terlalu mahal. Dipinggir jalan saya lihat ada pangkalan ojek tapi tak ada satupun pengemudinya. Lelah menunggu akhirnya saya menyetop tuk tuk. Pengemudi minta B150 akhirnya setelah tawar menawar deal B100, sama dengan tariff songtaew tadi. Saya Cuma bisa berkata dalam hati ‘ya sudahlah’, apalagi saya harus mengejar waktu untuk melanjutkan perjalanan ke Golden Triangle yang cukup jauh. Mengingat saya hanya semalam di Chiang Rai maka saya harus mengatur waktu sedemikian ketatnya.

Wat Rong Khun

Terletak 5 kilometer diselatan Chiang Rai kuil ini menjadi landmark dan salah satu yang paling dikenal di negeri gajah. Kuil ini terkesan modern berbeda dengan kuil kuil di Thailand pada umumnya. Seniman Chalermchai Kositpipat membangun kuil diatas lahan 3 hektar ini pada tahun 1997, dengan pengembangan yang masih berlangsung sampai sekarang, dalam bentuk dan warna yang berbeda. Jika kuil di Thailand umumnya berwarna emas maka Wat Rong Khun berwarna putih yang menandakan kemurnian sang Budha . Seluruh kuil memantulkan sinar yang berasal dari cermin yang tertanam dalam plester sebagai lambang refleksi diri. Warna emas justru diterapkan pada toilet sebagai lambang keserakahan atau kekotoran jiwa. Anda tidak akan menyangka bahwa yang berwarna emas itu adalah toilet karena begitu bagus desain dan ukirannya. Benar benar the beautiful toilet in the world.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline