Alm. Bapak pernah bercerita mengenai pertemuannya dengan Tuan Guru dari Lombok Timur. Tuan Guru adalah sebutan laiknya Kyai di Jawa. Ada banyak Tuan Guru di Lombok tapi yang paling terkenal dan jadi buah bibir pada waktu itu adalah yang berasal dari Lombok Timur. Bapak sudah banyak mendengar cerita mengenai beliau tapi belum pernah bertemu. Beberapa kali diajak oleh teman temannya untuk beranjang sana tapi selalu tertunda karena berbagai kesibukan.
Suatu hari dalam perjalanan pulang dari perjalanan dinas ke Lombok Timur, mobil yang dikendarai bapak berbelok kearah yang berlawanan dengan arah pulang. Setelah agak jauh bapak baru menyadari kalau sudah salah jalan, arah itu menuju pesantren Tuan Guru. Kepalang tanggung karena sudah salah jalan terlalu jauh bapak meneruskan perjalanan ke pesantren. Sesampai di pesantren bapak ditanya oleh santri yang menjaga dipintu masuk mengenai tujuan kedatangan. Bapak diminta menunggu lalu santri tersebut masuk kedalam bangunan tempat tinggal Tuan guru. Tak lama dia kembali lagi bersama dengan seorang santri lain yang ternyata santri kepercayaan Tuan Guru. Dia bertanya “apakah bapak berasal dari Jawa Tengah?” Dengan keheranan,bagaimana santri tersebut bisa tahu, bapak menjawab “ benar”.
Santri itu lalu bercerita bahwa Tuan Guru sudah berpesan bahwa beliau sedang menunggu tamu dari Jawa Tengah. Jika tamu itu datang diminta untuk langsung dipersilahkan. Beliau sudah menunggu sejak 2 minggu yang lalu dan membatalkan semua kegiatan. Padahal beliau banyak undangan dan harus bertemu dengan orang orang penting. Bapak semakin heran karena tugas ke Lombok Timur harusnya dilaksanakan 2 minggu yang lalu tapi selalu tertunda oleh kesibukan lainnya. Sayangnya bapak tidak mau bercerita banyak mengenai pertemuan tersebut. Bapak hanya mengatakan bahwa Tuan Guru memang bukan orang sembarangan dan ‘berilmu tinggi’.
Dalam suatu kunjungan ziarah saya berkenalan dengan seorang bapak pengelana yang saat itu sedang duduk diamben teras sebuah rumah yang terletak dibawah makam (makam terletak disebuah bukit kecil). Dia memandang saya lekat lekat dan tersenyum. Setelah memperkenalkan diri dan obrolan basa basi dia berujar, “ rupanya ada tamu toh pantes kaki saya kok tidak mau diajak jalan, bawaanya males terus”. Ternyata bapak itu harusnya 2 hari yang lalu meneruskan perjalanan ketempat berikutnya. Dia membatalkan perjalanannya dan menunggu. Rupanya dia harus bertemu saya. Kami ngobrol selama 2 jam sampai akhirnya saya pamit.
Tuan Guru dan si pengelana adalah pembawa pesan dari sang pemilik kehidupan. Mereka tidak bisa menolak ‘perintah’ itu. Jika dipikir kembali siapa sih bapak saya dibandingkan dengan Tuan Guru yang terkenal itu. Tuan Guru dan si pengelana sudah sampai ditaraf ‘ saya hanyalah tanganNya’. Mereka menjalani kehidupan sesuai perintahNya. Dengan kerendahan hati dan tidak lagi melihat ‘dunia’. Sebagai pembawa pesan mereka hanya menjalankan perintah sipemilik pesan dengan kepatuhan.
Mereka tidak bisa menolak karena raga hanya bergerak sesuai kehendak jiwa. Pencapaian yang tidak mudah.
Pembawa pesan bisa siapa saja begitu juga sipenerima. Masing masing dari kita adalah sipembawa dan penerima sekaligus. Karena sesungguhnya kita adalah tangan bagi yang lainnya begitu juga sebaliknya. Pesan tidak harus diucapkan secara verbal dan langsung, bisa jadi dalam bentuk perilaku yang dilakukan orang lain bagi yang lainnya tapi sebenarnya ditujukan pada kita. Hanya mereka yang ‘peka’ yang bisa menangkap pesan pesan itu. Kepekaan hanya bisa didapat dengan mengasah ketajaman hati, membuka hati dan menjernihkan hati. Pembelajaran seumur hidup. Tidak mudah tapi saya percaya kita bisa.
Bagaimana? Pernah mengalaminya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H