Lihat ke Halaman Asli

Meredam Pembusukan Makna

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Awalnya, propaganda merupakan alat penyampai pesan yang positif. Tahun 1962, propaganda digunakan untuk menyebarkan agama secara damai dan persuasif.  Melalui propaganda, para agamawan berusaha menyebarkan kesadaran hubungan transedental antara manusia dng Tuhannya.

Namun pada perkembangan selanjutnya makna propaganda mengalami pergeseran, bahkan penyimpangan.  Propaganda kemudian identik dengan keburukan, manipulasi, teror, pembohongan publik,  pemaksaan pengaruh, dan atribut negatif lainnya.  Fasisme-lah yang dituding pertama kali membusukan makna propaganda sehingga ia mengalami makna pejoratif dalam lingkungan sosio-politik. Kemudian dilanjutkan oleh Perang Dunia II dan pergerakan Zionisme Israel.

Demikian juga dengan istilah "politik." Dalam KBBI, politik diartikan sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan (decision making process), khususnya dalam sebuah wadah bernama negara.

Dalam definisi yang lebih klasik, Aristoteles mendefinisikan politik sebagai "usaha yang dilakukan oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama." Sangat normatif memang. Namun pada hakikatnya makna politik memang bukanlah sebuah hal yang negatif dan menyeramkan.

Namun mari lihat faktanya sekarang ini. Hampir semua orang (Indonesia) mengidentikan politik sebagai sebuah kegiatan megalomania, kegilaan kekuasaan, perampasan hak, dan sederet makna buruk lainnya yang bikin kuduk merinding. Sehingga, ketika ada orang yg baru saja mau bicara soal politik sudah dianggap kotor, rakus dan bermuka badak.

Mari lihat makna diplomasi. Menurut Ernest Satow, diplomasi bermakna keahlian atau keberhasilan melakukan hubungan internasional melalui perundingan. Sementara KM Panikkar mendefinisikan diplomasi sebagai seni dalam mengedepankan kepentingan nasional (national interest) suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.

Mari lihat makna diplomasi sekarang ini:

Suatu ketika seorang pelaku politik yang relatif bersih ditawarkan oleh seorang aktor politik lainnya agar ia menyogok saja untuk mendapatkan jabatan di sebuah departemen pemerintah. Atau dekatilah ketua partai A, lalu minta padanya jabatan itu atas dasar pertemanan. Pelaku politik itu menolak. Menurutnya, "Hal itu bertentangan dengan prinsip saya. Sy tidak akan meminta sebuah jabatan, apalagi dengan cara tricky seperti itu." Si aktor politik tadi tersenyum lalu menyatakan,

"Sebagai pelaku politik, kita mesti diplomatis terhadap situasi dan orang2 tertentu. Jika tidak, kita akan punah seperti dinosaurus."

Sampai di sini kita bisa melihat bahwa diplomasi kemudian juga mengalami pembusukan makna. Jika sebelumnya diplomasi digunakan dalam hubungan internasional dengan makna perundingan yang damai dan saling menghormati, kini maknanya bergeser dan digunakan secara serampangan menjadi identik dengan manipulasi, sikap pragmatis, bahkan oportunis.

Di ranah "kenyataan," banyak sekali istilah2 yang pada awalnya baik kemudian mengalami pembusukan makna. Ini terjadi karena ada kepentingan dari pihak2 tertentu yang membuat makna sejati istilah2 itu bergeser dan membusuk. Kepentingan ekonomi dan politik tidak diragukan lagi menjadi biang keladinya. Sy katakan "kepentingan" politik, bukan politik itu sendiri; dan "kepentingan" ekonomi, bukan ekonomi itu sendiri. Dan ternyata...oh my! Istilah "kepentingan" pun sudah mengalami pergeseran dan pembusukan. Ah, banyak sekali istilah2 yg disengaja mengalami pembusukan. Termasuk istilah baik lainnya, semisal "agama", "tindakan pre-emtif", "lobby" dan sederet istilah lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline