Atasan marah betul pada Fulan pagi ini, "Kenapa laporan yang kemarin belum kamu kerjakan?!" Dengan agak tergagap dan kehilangan refleks dalam berpikir, naluri bermain, "Tidak ada satu pun komputer yang bisa saya pakai." Refleks ini merupakan salah satu bentuk kambing hitam; Fulan menyalahkan teman kerja yang lain. Seakan-akan karena mereka tidak "menyediakan" komputer untuknya, tugas Fulan akhirnya belum dikerjakan.
Entah karena naluri, entah karena kebiasaan, menyalahkan orang atau sesuatu yang lain menjadi refleks paling cepat yang bisa kita lakukan sebagai manusia, terutama ketika kita sedang terpojok atau marah. Kita species yang senang mencari kambing hitam.
Saat Fulan diputusin sama pacarnya, segera saja yg muncul di benak dan tindakannya adalah menyalahkan pacarnya. Karena si pacar beginilah, sebab si pacar begitulah, gara-gara si pacar begonolah. Yang jelas, Fulan tidak mau mengatakan, "Kejadian ini adalah karena saya; sayalah penyebab utamanya."
Melalui jejaring sosial bisa kita lihat bahwa nyaris 90% lebih orang yang putus cinta "curhat" di jejaring sosial dengan menyalahkan, memaki, atau menjelek2an mantannya. Sense untuk introspeksi (terutama ketika sedang berada dlm amarah dan kecewa) menjadi minim, bahkan hilang sama sekali.
Saya pun melakukannya. Saya ingat betul bagaimana utk sesaat saya mengkambinghitamkan mantan pacar saya ketika dia meminta putus. Lalu segera saja saya menyalahkan dia sbg pengkhianat, tidak setia, tidak tepat janji, perobek komitmen, dll. Namun setelah kepala agak dingin saya mulai introspeksi, dan hasilnya adalah sebuah kesadaran, "Semua tragedi ini terjadi krn diri ini sendiri yang menjadi penyebabnya. Aku kurang memperhatikannya, aku kurang romantis, aku kurang memberinya kebebasan yg sama sebagaimana yg dia berikan pada ku, aku terlalu egois..." dan sederet kesadaran lain yang menjadi penyebab retak dan hancurnya hubungan asmara antara saya dng mantan pacar. Dan di dlm instrospeksi itu jg muncul sekelumit penyesalan, "Padahal dia sudah teramat baik pada ku. Aku pasti telah melukai hatinya dlm sekali..."
Dengan introspeksi (bukan dng kambing hitam), ke depannya interaksi yang mungkin terjadi dng mantan pacar akan kembali menjadi "baik2 saja." Bahkan boleh jd akan kembali hangat. Komunikasi kembali lancar. Namun dng kambing hitam, keretakan relationship tidak akan bisa dihapus; akan selalu ada luka yg membekas.
Kepada teman pun seringkali mungkin kita melakukan "pengkambinghitaman" atas setiap masalah yang muncul antara kita dengan teman. Bagaimana kepada keluarga dan orang tua? Jangan2 sama saja. Bahkan boleh jadi orang yang sudah meninggal pun kita kambinghitamkan. Dan bukan rahasia lagi kita pun suka mengkambinghitamkan "keadaan" atau situasi, krn sudah tdk ada lg yg bs dijadikan kambing hitam.
Bisa saja dalam interaksi kita kpd orang lain muncul masalah, dan kita tdk bnr2 salah dlm masalah yg muncul itu; boleh jadi kita hanya menjadi pemicunya. Namun tdk mungkin kita tdk memiliki peran apapun di dlmnya. Mari instrospeksi. Introspeksi memang sudah menjadi sebuah kata klise yang telah kehilangan "semangatnya" dlm dunia praxis. Namun cm istilah itu yang mampu mendirikan tembok kokoh di depan kita saat kita akan mengayunkan palu bernama "kambing hitam" kepada orang lain.
Paling asik memang cari kambing hitam. Namun percayalah, akan jauh terasa lbh asik jika mencoba utk jujur dan objektif dlm menimbang setiap mslh yg muncul scr berimbang.
Saya mohon maaf yang sebesar2nya pada Fulan yang telah secara sengaja saya jadikan kambing hitam di awal tulisan ini.
Semoga bermanfaat.