Lihat ke Halaman Asli

Bohong juga Butuh Konsistensi

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah "manifestonya", Hitler pernah menyampaikan bahwa kebohongan yang dilakukan secara terus-menerus dan konsisten, lama-lama akan dianggap sebagai kebenaran. Rupanya "petuah" Hitler tersebut sekarang sedang banyak dipraktikkan di tanah air.

Masalah Apel Malang dan Apel Washington terkait kasus Wisma Atlit merupakan bukti dari kebohongan yang sedang dipraktikkan. Dan kebohongan itu sepertinya sedang dicoba untuk terus dipertahankan secara konsisten. Maka pertanyaan lain berturut-turut juga dijawab dengan kebohongan, misalnya soal foto, pertemuan Angie dengan Rosa, dan lain-lain semua dijawab dengan kebohongan berlapis. Ini konsistensi. Prinsipnya, kebohongan yang pertama harus didukung atau ditutupi dengan kebohongan selanjutnya. Semakin bertumpuk kebohongan yang dilakukan, akan semakin bagus.

Namun sayangnya, kader dari partai yang sama, yakni Ruhut Situmpul, dari kejauhan teriak dengan keras bahwa apa yang diucapkan Angie di persidangan adalah bohong. "Kita ingatkan pengacaranya jangan ajarkan (Angie) untuk melakukan kebohongan, karena itu berbahaya," kata Ruhut.

Untuk mempercantik skenario, seharusnya Ruhut tidak menyatakan demikian ke media. Itu sama saja merusak skenario. Atau mungkin memang dalam skenario peran Ruhut sudah harus dimulai pada detik itu? Tapi apakah Ruhut jujur menyatakan demikian atau ini hanya sebuah kebohongan yang lain? Tapi kalau memang ini sebuah kebohongan yang lain, maka pembohong pertama, yakni Angie, boleh jadi hanya merupakan "korban" dari setting kebohongan-kebohongan lainnya lagi, yakni kebohongan-kebohongan yang tersembunyi; grand design kebohongan!

Yang jelas, siapapun yang berbohong harus konsisten, jika ingin kebohongannya tidak ketahuan sebagai kebohongan. Dan hari ini muncul lagi "pembohong" baru di persidangan. Saat tampil sebagai saksi, beberapa pernyataan besar dia lakukan secara tidak konsisten. Maka orang menuduh dia berbohong. Sudah dibilang, bahwa supaya tidak ketahuan, kalau berbohong itu mesti konsisten. Dengan demikian bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dan ketika menjadi saksi atau apapun di persidangan, cobalah untuk tidak berkeringat dan menunjukan wajah pucat, karena dua hal itu menunjukan indikasi kebohongan.

Ingatlah prinsipnya: Berbohong butuh konsistensi. Dan prinsip itu bisa dipersenjatai dengan sebuah meriam paling mematikan dalam alam demokrasi: Berbohong itu hak.

Selamat berbohong secara konsisten kepada para politikus tanah air.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline