Lihat ke Halaman Asli

Belajar Kesederhanaan Dari Natsir

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

George McTurman Kahin, seorang Guru Besar Cornell University, Amerika Serikat, pada tahun 1948 datang ke Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu. Dia diundang datang dalam suatu acara yang dihadiri para pejabat negara. Setibanya di tempat acara, Kahin menyalami satu demi satu para pejabat yang ada. Ketika Kahin berhadapan seorang lelaki berusia 40 tahun yang berwajah teduh dan berkacamata bulat, betapa harunya dia; Kahin melihat sosok laki2 yg memakai baju dan pantalon dari bahan yang amat murah dengan potongan yang amat sederhana. Ketika diperkenalkan bahwa lelaki tersebut adalah seorang Menteri Penerangan RI, Kahin sangat terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka, lelaki yang kelak dikenalnya dengan nama Muhamad Natsir itu ternyata sangatlah bersahaja, tidak ada beda dengan rakyat kebanyakan. Apalagi dirinya mendengar jika baju itu merupakan satu-satunya baju yang dianggap pantas untuk dipakai ke acara-acara resmi.

Kahin mengenang, "Saya dengar, beberapa minggu kemudian, para anak buahnya di Kementerian Penerangan berpatungan membelikan Pak Menteri Natsir sehelai baju yang lebih pantas. Setelah baju itu dipakai Pak Menteri Natsir, para anak buahnya berkata dengan gembira, 'Nah ini baru kelihatan Menteri betulan'."

Memang agak tidak layak juga jika seorang Menteri berpakaian terlalu lusuh, karena itu menyangkut citra diri dan bangsanya juga. Tapi Natsir tetaplah Natsir. Dia ingin orang menilai dia tidak dari embel2 kulit luarnya, namun dari kualitas manusianya. Mungkin pada masanya bisalah berkata, "Persetan dengan image (citra)! Toh, image bisa didapat dari sudut pandang lain."

Ketika menjadi Menteri Penerangan, Natsir seringkali pergi ke kantor hanya dengan menaiki sepeda dan memakai baju tambalan karena tuanya umur baju itu. Sampai-sampai para staf di Departemen Penerangan di masa itu terpaksa harus “gerah” sendiri. Saat menjadi Perdana Menteri Natsir mendapat sebuah mobil Dinas dan seorang sopir, tapi ketika Kabinetnya jatuh ia langsung mengembalikan mobil dinasnya kepada negara, dan kembali lagi dengan sepedanya (bandingkan dengan pejabat sekarang yg ketika masa jabatannya habis, jangankan mobil, mesin pemanas air pun diambil).

Sewaktu Raja Faisal, dari Arab Saudi (pencetus embargo minyak) menawarkan sebuah mobil mewah (yang menurutnya pantas untuk tokoh sekaliber Natsir), Pak Natsir dengan santun mengucapkan terima kasih dan mempersilahkan bantuan itu diberikan saja untuk ummat Islam yang kekurangan hidupnya. Namun saudara, kebersahajaan tersebut tidaklah mengurangi derajad ketokohan beliau. Karena itu saya tegaskan lagi, bahwa Natsir adalah Natsir. Sosok yg mungkin menganggap bhw perbuatan (teladan) lebih hebat dari kata2 yg dibungkus kalimat paling indah sekalipun.

Pertanyaannya, apakah cuma itu keunggulan seorang Natsir?

Ternyata tidak. Natsir tercatat sebagai salah satu tokoh yang sangat cerdas dan salah seorang pejabat negara yang sangat piawai. Kepiawaian beliau sebagai pejabat ditunjukan berkali2; melemparkan Mosi Integral yang mengajak seluruh elemen bangsa kembali ke dalam pangkuan NKRI; Natsir menjadi salah satu kunci lahirnya politik luar negeri Bebas-Aktif; Pada masa Natsir Indnesia menjadi anggota PBB; Pada tahun 1948 Natsir-lah yg berhasil membujuk Sjafrudin Prawiranegara bersama Jendral Sudirman yg tersinggung oleh Soekarno karena Perjanjian Roem-Roijen utk kembali menyerahkan pemerintahan ke tangan Soekarno; Natsir juga yg dengan sangat luar biasa berhasil melunakkan hati Daud Beureuh dari pemberontakan dan penolakan Beureuh tergabung ke dalam Sumatera Utara.

Itulah Natsir. Dia seperti berlian yang walau ditutupi oleh debu tapi akan tetap menyinarkan kilaunya.

Dari kesederhanaannya juga dia menjadi sangat santun dalam berhubungan dengan orang2 di sekelilingnya, termasuk kpd lawan2 politiknya. Pernah suatu kali Natsir berdebat sangat keras di sebuah sidang lantaran penolakannya terhadap peran PKI yg semakin besar. Namun di luar sidang, Natsir duduk bersama tokoh PKI itu sambil minum teh dan saling bercerita. Bagi Natsir, fokusnya selalu pada masalah, bukan pada person. Dasyat!

Saya jadi ingat dengan kisah salah seorang pejabat di Amerika Serikat (namun saya lupa namanya). Suatu ketika pejabat itu menghadiri rapat di sebuah hotel mewah yang dihadiri oleh para pejabat lain. Ketika para pejabat lain datang, begitu banyaknya mobil mewah berjejer di lobi hotel. Tibalah pejabat ini datang; sebuah taksi murahan berwarna kuning berhenti, lalu keluarlah pejabat tersebut dari dalam taksi.

Segerombolan wartawan menyerbu pejabat itu. Pertanyaan mereka adalah, "Apakah layak seorang pejabat tinggi menaiki sebuah taksi?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline