Lihat ke Halaman Asli

Televisi

Diperbarui: 9 Juni 2016   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

            Pagi-pagi sekali. Aku naik bus kota menuju rumah ibu dan memilih bangku di sisi kiri baris ketiga dari pintu depan. Mengambil posisi dekat jendela. Kondisi bus yang tak terlalu ramai membuat celoteh-celoteh penumpang lain dengan leluasa menghujani telingaku.

            Sepasang remaja putri belasan yang duduk tepat di seberang bangkuku, asyik bercakap-cakap perihal kisah cinta remaja yang tak direstui orang tua karena ibu tiri dari si tokoh wanita adalah mantan kekasih si tokoh pria —kekasihnya.

            “Aku kalau jadi dia, mending kabur dari rumah!” celetuk salah seorang remaja putri tersebut yang kemudian hanya disusul manggut-manggut dari teman bicaranya.

            Obrolan berlanjut. Tetapi, aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan selanjutnya karena segerombolan ibu-ibu yang duduk tepat di depanku heboh berceloteh tentang seorang haji yang melakukan kebaikan karena ingin dipuji, karena ingin pamer. Kalau aku tidak salah dengar, salah seorang dari ibu-ibu tersebut berbicara dengan nada jengkel.

            “Haji kok begitu! Ndak berkah!” begitu kira-kira.

            Pandanganku beralih ke seorang perempuan muda yang baru saja naik dan duduk tepat di depan dua remaja putri tadi. Ia berdandan menor sehingga membuatnya terlihat lebih tua dari umurnya sekarang. Ia sibuk dengan ponsel di telinganya dan berbicara begitu keras karena berlomba dengan suara berisik bus, kernet bus, dan penumpang lainnya.

            “Aku akan duduk paling depan. Berdandang ala puteri kerajaan. Dan memakai gaun yang sudah kusiapkan dari rumah, Pak!” ucapnya dengan gesture anak muda jaman sekarang.

            “Pokoknya, sebisa mungkin aku akan duduk di tempat yang selalu tersorot kamera. Lumayan, Pak. Acaranya enam jam lebih! Live lagi!” lanjutnya antusias.

            “Ongkos, dek!” suara kernet bus disusul nada receh di genggaman tangannya mengagetkanku. Aku menyerahkan beberapa lembar uang. Tanpa menjawab kernet tersebut beralih ke penumpang lain.

            Bus berhenti di sebuah halte. Aku melihat ke luar jendela. Kulihat ada lima orang pelajar sekolah dasar yang sedang asyik mengobrol dan obrolan mereka terhenti karena bus datang. Tiga anak naik ke bus dan dua anak lainnya tetap tinggal di halte. Mungkin mereka bersekolah di tempat yang berbeda, terlihat dari seragam sekolah yang mereka kenakan.

            “Nanti malam ke rumahku, ya! Episode terakhir, lho. Kita nonton bareng!” teriak salah seorang anak yang berada di halte ke arah tiga temannya yang sedang naik bus kota.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline