Lihat ke Halaman Asli

Reski Reisme

Guru Geografi | Pekerja Seni | Pendaki Amatir

Seiring Pandang #2 Keluarga Ambigu

Diperbarui: 14 Agustus 2020   23:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Roh itu telah tiba. Telah menemukan jasad untuk bernaung. Siap mengelola pertumbuhan. Namun belum mengerti apa yang harus dilakukan. Masih terpenjara didalam ruangan kecil dan hidup menumpang di perempuan berumur empat puluh empat tahun. Dihidupi lelaki lima puluh tujuh tahun.

Saudaraku sepertinya masih ada yang tak terima dengan keadaan ini. Bagaimana perasaan kalian jika seperti itu. Untung saja bukan kalian. Maaf jika aku menyinggung perasaan kalian.

Mungkin jika aku dapat berpikir, sakit rasanya mendengar hal ini. Keluargaku ambigu ketika aku beranjak 5 bulan dikandungan. Aku disarankan Tuhan, tapi salah satu keluargaku tak mengharapkan datang.

Keluargaku memang ambigu. Saat aku ingin lahir dan menangis didunia, saudaraku sulit menerima hal itu. Alasan kasihan dengan orangtuaku yang sudah berumur tua. Disuruhlah orang tuaku melenyapkan kandungannya. Untung, salah satu saudaraku tegas. Aku di bela matian-matian demi melihatku lahir. Aku sangat bangga dengan itu.

Dia yang telah yakin akan kehadiranku di semesta ini. Berharap aku adalah rejeki yang dilimpahkan oleh Tuhan ditengah-tengah keluarga menengah kebawah ini. Semoga saja ya kak. Doaku setelah aku di beri nama Rizky olehnya. Meskipun aku belum mengenal dunia dan tidak bisa berkata apa-apa saat itu. Tapi aku yakin. Aku punya hati yang sudah dapat mengatakan amin untuk sebuah doa yang baik lahir batin.

Aku terlahir dengan sempurna. Punya kepala. Punya badan. Punya tangan. Punya kaki. Dan yang paling penting aku punya kelamin yang utuh. Berkelamin laki-laki. Lucu, imut, menggemaskan sepertinya sudah tidak penting bagiku. Yang paling penting adalah keluarga dapat menyelesaikan ke ambiguannya tentangku. Kemudian menerimaku dengan lapang dada. Menerimaku dengan senang hati. Mendoakanku dengan sepenuh hati. Membantu merawatku dengan sabar diri. Secerca harapanku dalam kandungan sembilan bulan sembilan hari. Hadirlah aku satu hari kemudian. Alhamdulillah.

Tugas yang berat telah menanti. Hadir terakhir dikeluarga kecil. Diharapkan mampu menopang kehidupan dua orang yang telah mengantarkanku hadir di semesta. Tidak masalah bagiku. Aku pasti bisa. Tunggu saja aku besar nanti. Tapi, jangan sampailah kalian (keluargaku) memunculkan keambiguan kembali.

Yakinlah untuk kehadiranku.

Beberapa orang tidak dapat menerima suatu kehadiran, karena kehadiran terkadang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline