Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kurawa Menang Judi Dadu

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam dongeng, epos bahkan sejarahpun yang diceritakan tentu peran para tokoh elitnya. Karakter dan kontribusinya terhadap kehidupan masyarakat (rakyat) ditonjolkan, kadang secara ekstrim mengenai kebaikannya atau sebaliknya. Mereka merupakan subyek, sedangkan masyarakat hanya menjadi obyek belaka.
Tengok saja cerita pewayangan PENDAWA DADU, maksudnya Pendawa dan Kurawa main dadu. Enak saja yang dipertaruhkan adalah NEGARA  tentu beserta nasib rakyatnya bahkan ISTRI ( lambang kehormatan ).
Pendawa yang digambarkan berkarakter BAIK dan PENGAYOM RAKYAT ternyata konyol juga mau diajak main dadu meski tahu ada skenario jahat Apapun alasannya tentu terbersit juga keinginan kalau menang akan dapat menguasai negara Astina dan rakyatnya dan segala sumberdayanya.

Sedangkan Kurawa yang saat itu de facto menguasai Astina sudah jelas ingin mempertahankan kekuasaannya.  SUYUDONO, raja Astina yang digambarkan bersosok  gagah tinggi besar, berkarakter relatif lebih baik dari saudara-saudaranya tetapi  lemah dalam mempertahankan prinsip sehingga mudah terpengaruh oleh bujukan gombal penasehat-penasehatnya yang berkepentingan mempertahankan atau menginginkan jabatan yang lebih gengsi dan basah. Maka skenario main dadu secara curangpun disetujuinya. Siapapun pemenangnya bagi rakyat Astina tidak masyalah karena toh mereka hanya sebagai obyek, paling-paling hanya bisa berharap mudah-mudahan yang menang dan berkuasa akan  memperhatikan dan mengusahakan perbaikan kesejahteraannya.
Dan semua tahu karena curangnya sudah diskenario secara sistemik maka Kurawa keluar sebagai pemenang. Hadiahpun bertaburan kepada para pendukung skenario perjudian tidak peduli integritas dan kapabilitasnya. Mereka mendapat jabatan sebagai anggota Dewan Penasehat, Dewan Pertimbangan maupun Nayaka Praja. Korupsi meraja lela dan kesejahteraan rakyat tidak dipedulikan Celakanya mereka bakat ”ngeyel” (berdebat asal bunyi) meski ”ora maton” (tanpa dasar kebenaran).  Para SUJANA dan BEGAWAN sesepuh yang arif dan bijak tak dianggap lagi karena bukan golongannya atau dianggap oposisi. Masukan yang mengingatkan untuk berbuat BAIK dan BENAR untuk rakyat tidak digubris dianggap ”waton suloyo” (asal berbeda pendapat) didasari karena iri dan kecewa karena Pendawa cucu/kemenakan kesayangannya tidak menang main dadunya.Untungnya meski rakyat makin menderita masa itu belum dikenal paham demokrasi makanya rakyat Astina tidak demo apalagi sampai membawa kerbau ditulisi SUYUDONO digiring ke alun-alun istana.
Kalau jaman sekarang JUDI DADU bisa kita samakan dengan PEMILU baik untuk wakil rakyat maupun presiden jadi haruslah dijaga betul jangan sampai terjadi skenario-skenario curang secara sistemik yang akan sangat merugikan masyarakat dan mengotori proses menuju sistem demokrasi yang baik dan benar. Kepada para elit politik dihimbau untuk ELING dan benar-benar berniat akan menjalankan “dharma” sesuai pilihan peran kehidupannya, pemimpin yang benar-benar memikirkan kesejahteraan rakyatnya dan memuliakan bangsa dan negaranya. Jangan menganggap  masyarakat tidak mengerti karena mereka sudah sangat pandai untuk mencermatinya. Jadilah pelaku sejarah yang dikenang sepanjang masa karena kebaikannya dan bukan sebaliknya,  semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline