Lihat ke Halaman Asli

Residensi Sastra

Media Sastra Online

Dokumentasi Bincang Sastra Bedah Cerpen Pak Tua Lebaran di Penjara Karya Ali Adhim

Diperbarui: 10 Oktober 2023   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah Catatan Pendek Tentang Cerpen "Pak Tua Lebaran di Penjara"

.

Di sini saat kita mendengar kata karya sastra cerpen, maka, ada sebuah hal yang sangat otentik dengan fenomena jiwa sosial dan budaya dari seorang pengarang atas kepekaannya. Terlebih cerpen itu suatu potret dari kehidupan yang ditemukan sebagai jalur dokumentasi dalam menangkap berbagai kisah-kisah adalah wujud intuitif yang sangat bernilai tentunya untuk dinikmati setiap pembaca.

Jika kita melihat cerpen dari Mas Ali Adhim ini saya menilai sebuah karya yang dihasilkan oleh seorang pengarang yang sangat cermat juga lihai dalam meraba atmosfer kehidupannya dalam bersikap dan bersosial. 

Cerpen ini meski bertema religius, namun tidak hanya mengalir di titik religius tersebut, tetapi juga memotret gambaran kehidupan kemanusiaan dalam kesehariannya. Dengan penyampaiannya yang matang dan literatur mampu menyeimbangkan antara keagamaan, kemanusiaan, juga kebudayaan 

Seperti Mas Ali Adhim memulai dengan gambaran sebuah suasana pasar dan sekitarnya, lalu, kehakikatan manusia yaitu kepedulian mendalam antara keluarga dan harapan hidup selanjutnya yang sempat juga menyinggung sebuah malam Lailatul Qadar. Juga sebuah merapal mantra yang tentunya hal itu sangat dekat dengan budaya.

Sebuah ketulusan yang mencolok dari seorang ayah terhadap anak terdesain juga di sini, dari bagian hal yang sangat intensif tentunya dalam kasih sayang ayah tidak pernah main-main dan memang sangat besar dalam memeluk sebuah tanggung jawab dalam berumah tangga. Meski terjadi sesuatu di luar yang tidak diinginkan, yaitu akhirnya tetap menjadi seorang pencuri, tetapi sebagai orang tua tidak mau mewariskan sebuah keburukannya untuk sang anak dan tetap akan mendidik lebih baik lagi, seperti pada ungkapan kata "Selagi aku masih membimbingmu mengaji, bismillah"

Dan potret ketidakberdayaan sebagai seorang hamba dengan Maha Pencipta juga tergambar dari melihat Pak Tua yang asal mulanya ia seorang marbot Masjid yang begitu dekat dengan perihal ibadah kepada Tuhan, dan itu semua tetap terjadi karena memang manusia itu lemah, tempatnya salah, dan lupa, tanpa pertolongan dari kekuasaan Tuhan.

Dan yang tidak kalah penting dalam kisah ini yaitu ada kepedulian yang memang harus diperhatikan secara global dalam mengemban sebuah makna kemaslahatan, terlebih dalam almamater agama, jadi, tidak hanya memperdulikan secara material bangunan saja, misalnya hanya fokus di kejayaan tempat beribadah tersebut, tetapi, juga mementingkan kesejahteraan umat di sekitar, dan itu juga perlu untuk diutamakan.

Jadi dalam konteks cerpen Mas Ali Adhim ini, bisa dibilang telah memberikan kontribusinya terhadap sosial kemanusiaan yang sangat bernilai tinggi dengan menyentuh sebuah tradisi juga rakyat kecil yang sangat sarat dengan kepedulian dan perhatian dari pihak tertentu yang seharusnya terlibat untuk mensejahterakan, agar meminimalisir sebuah hal yang tidak diinginkan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kita.

Dari sisi stilistika Mas Ali Adhim mampu mendedahkan kisah yang sangat menyayat dan menyentuh hati, dengan meski disajikan dalam keadaan tragis dan monumental, tetapi, Mas Ali Adhim mampu mengalirkan sebuah konflik juga tragedinya dengan sangat natural. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline