Lihat ke Halaman Asli

Redining Nila Astuti

penikmat yang bukan pengila

Tradisi, Pandemi, atau Memilih untuk Diselamatkan Nanti

Diperbarui: 23 Mei 2020   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Indonesia merupakan Negara muslim terbesar di dunia, sehingga Lebaran merupakan hari raya besar yang spesial yang di tunggu oleh kebanyakan lapisan masyarakat. Di dalam lebaran banyak sekali tradisi yang dimiliki Indonesia yang menjadi khas pengerak adrenalin, membuat rindu untuk mengulang kebiasaan tersebut. Tapi tahun ini beda dari sebelumnya,  dimana terdapat sebaran wabah covid-19. Masyarakat diminta menghindari kerumunan, mengunakan masker, berjarak dan diminta untuk tidak berpergian jauh untuk menghindari persebaran virus semakin meluas.

 

Kemudian intruksi untuk di minta tidak berpergian sedikit goyang karna Kebijakan pengecualian bepergian yang dikeluarkan pada tanggal 09 mei 2020 ini diatur dalam surat edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang kriteria pembatasan perjalanan orang dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dimana di dalamnya terdapat persyaratan seseorang boleh melakukan kegiatan berpergian bila memiliki surat tugas dan surat hasil negatif COVID-19 berdasarkan Polymerase Chain React/on (PCR) TestlRapid Test atau surat keterangan sehat dari dinas kesehatan/rumah sakiVpuskesmas/Minik kesehatan.

 

Kebijakan tersebut menjadi dalah satu cela untuk melakukan sebuah tradisi lebaran, yaitu tradisi mudik. Orang-orang mendadak banyak yang memiliki kepentingan berpergian dengan surat tugas dalam gengaman, mudik sendiri adalah tradisi berkunjung ke tempat sanak keluarga di daerah. Bukan cemas dengan peredaran virus tak kasat mata, alih-alin beberapa di akhir Ramadhan di temukan pula masrayakat sibuk mengantri mall yang lama sepi akan segera di buka. Mereka siap mengantri untuk berbelanja kebutuhan sandang untuk memenuhi hasrat memiliki baju lebaran.

 

Masih teringat jelas, Indonesia pertama kali mengkonfirmasi kasus covid-19 pada 02 maret 2020 lalu. Saat itu, Presiden Jokowi mengumumkan ada dua orang warga positif terjangkit virus corona, diindikasi terpapar virus saat pertemuan dengan warga negara Jepang yang masuk ke Indonesia. Saat di konfirmasi, banyak warga mengalami panik berbelanja kemudian berpandangan bahwa pemerintah melakuan antipasti pandemi dengan pergerakan yang lamban. Banyak suara, butuh kepastian apa Langkah yang harus di ambil.

 

Kemudian di tanggal 07 april 2020 tercetuslah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) untuk di terapkan di beberapa daerah. Masyarakat di minta untuk tetap di rumah dan menerapakan physical distancing, badan boleh berjauhan tapi tidak dengan kepedulian. Saat ini sudah dipenghujung bulan mei, terlihat kita baru melewati masa pandemi dengan kepanikan kurang lebih selama 3 bulan. Ada banyak kemungkinan, ada banyak harapan, ada banyak ketakutan dan ada banyak doa. Dokter, perawat dan para petugas medis yang di nyatakan sebagai garda terdepan, nyatanya adalah garda terakhir yang kita miliki. Kenapa terakhir ? Karna pelindung bagi diri kita sendiri, ya diri kita yang mau mengatur, mau melindungi atau menuruti intruksi yang dianjurkan.

 

Wabah ini tidak terlihat, tidak kasat mata. Inang pembawa adalah manusia, ini yang berbahaya. Karna manusia adalah makhluk social yang pastinya memiliki pergerakan dan bertemu dengan manusia lainya. Virus juga mampu bertahan pada benda-benda semisal tas, kendaraan, sepatu dan benda lainnya dalam hitugan jam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline