Seorang teman yang juga seorang guru menggerutu karena lelah sehabis pulang bekerja, dia pun terpaksa mengerjakan bukan membantu mengerjakan 40 soal esai berstruktur/beranak PR matematika adiknya, yang masih duduk di bangku SMP.
Betapa tidak dongkol ya, PR yang mestinya menjadi kewajiban adiknya berpindah tangan menjadi tugasnya. Ketika ditanya, adiknya menjawab guru di sekolah hanya sekedarnya saja memberikan penjelasan tapi memberikan pekerjaan rumah yang banyak sebagai gantinya.
Saya pula pernah melihat sendiri anak-anak SD disuruh gurunya untuk menjawab beberapa lembar soal bukan beberapa butir soal di LKS dan pada saat yang sama pula dibebani pekerjaan rumah dari mata pelajaran yang lain. Bisa dipastikan yang ikut pusing juga adalah orang tua mereka di rumah. Ajaibnya, simsalabim, PR selesai tepat waktu keesokan harinya.
Guru tentu saja senang ketika PR yang disuruh kerjakan sudah selesai tepat waktu walaupun kadang-kadang saking sibuknya guru yang bersangkutan, PR tersebut tidak dikoreksi atau hanya ditandatangani saja. Bagi yang tidak mengerjakan pasti mendapatkan hukuman.
Pemberian PR dalam jumlah yang banyak ini diberikan entah dikarenakan guru yang bersangkutan tidak begitu menguasai materi, dikejar target kurikulum atau ingin buru-buru ke pasar. Saya sih berpikir positif saja bahwa guru yang bersangkutan ingin anak didiknya cepat pintar dengan cara mandiri.
Saya jadi teringat dengan apa yang sering saya lakukan ketika saya masih sekolah dulu. Saya bersama teman-teman saya yang tidak banyak mengerti mata pelajaran matematika dan fisika lebih banyak menyalin jawaban teman ketika diberikan latihan terlebih lagi PR.
Hingga suatu hari di kelas satu SMA, saya yang cukup mengerti materi kecepatan dengan percaya diri mengerjakan PR sendiri. Dari tiga soal esai beranak, saya kesulitan menjawab soal nomor dua bagian c. Saya biarkan saja, tidak ingin menyalin jawaban teman keesokan harinya karena saya pikir seperti biasanya PR ini akan dibahas bersama. Saya ingin tahu cara mengerjakannya bukan hasilnya.
Tiba-tiba nama saya dipanggil untuk menjawab pertanyaan nomor dua tadi. Masih dengan percaya diri, saya maju ke depan kelas dan menulis jawaban saya. Sedangkan untuk nomor 2c tadi saya biarkan kosong tapi saya menghadap Bu Guru mengatakan bahwa saya belum mengerti mengerjakan soal tersebut.
Tak dinyana pengakuan saya tersebut membuatmya murka. Saya disuruh berdiri di depan kelas, mendadak hening. Hanya suara lantangnya saja yang terdengar. Beliau mulai marah dan mengomel sekalian menjelaskan betapa hebatnya beliau dalam memahami dan mengerjakan soal fisika. Tak tanggung-tanggung satu jam pelajaran beliau habiskan untuk itu.
Guru saya sama sekali tidak menghargai dua jawaban benar lainnya dan tentu saja usaha saya. Fokusnya pada jawaban yang tidak bisa saya kerjakan. Bagaimanalah perasaan saya waktu itu? Yang pasti saya malu dan sedih sekali diperlakukan seperti itu hingga ingatan buruk ini masih melekat di memori saya setelah bertahun-tahun berlalu. Huhu...
Semenjak hari itu saya sudah tidak peduli lagi pada pelajaran tersebut. Bahkan kertas ulangan pun banyak nomor soal yang saya biarkan kosong. Nilai rapot saya merah. Still, I didn't care. Mungkin begitulah juga apa yang dirasakan anak-anak yang dikira malas membuat pekerjaan rumah.