Tahun 2014 dapat kita sebut sebagai tahun perubahan karena disetiap lingkup kekuasaan terjadi peralihan kepemimpinan. Dilingkup lokal yakni kampus, Prof. Djaali resmi terpilih untuk melanjutkan kepemimpinan Prof. Bedjo yang masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah untuk UNJ. Di lingkup regional, DKI Jakarta baru saja dikhianati oleh sang gubernur yang diminta parpol pengusung untuk menikmati tahta kuasa lebih tinggi yakni presiden. Dan di lingkup nasional, pada 9 April dan 9 Juli 2014 akan diadakan secara serentak pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
Namun, dalam pemilihan nasional yang akan menentukan masa depan dan nasib lebih dari 240 juta rakyat Indonesia, terdapat satu kebiasaan yang mulai membudaya yakni pilihan menjadi Golongan Putih (Golput).
Jika kita menilik tingkat partisipasi pemilih di pemilu-pemilu sebelumnya, maka akan kita temukan bahwa trend golput semakin meningkat. Pada Pemilu tahun 1999 angka golput sebesar 7,26 persen. Lalu pada pemilu legislatif 2004 angka golput menjadi 15,93 persen, pilpres 2004 putaran pertama sebesar 21,77 persen dan pilpres 2004 putaran kedua sebesar 23,37. Sedangkan pada pemilu legislatif 2009 angka golput sebesar 29,04 persen dan pilpres 2009 sebesar 27,44. (Sumber: Litbang Kompas)
Jika kita membagi jenis golput berdasarkan motif, maka kita akan menemukan 2 motif yang mendasari seseorang untuk menjadi golongan putih: yakni golput administratif dan golput ideologis. Golput administratif adalah mereka yang tidak dapat memilih karena alasan teknis administratif dari penyelenggaraan pemilu. Seperti minimnya sosialisasi dari lembaga terkait, belum terdaftar di DPT (Daftar Pemilih Tetap) atau keterjangkauan lokasi pilih dengan domisili saat ini. Dan yang lebih perlu mendapat perhatian adalah golput ideologis, yakni mereka yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilih dengan alasan ketidakpercayaan pada sistem ataupun calon-calon yang ditawarkan dengan sistem ini.
Maka aksi massa dan audiensi ke KPU, advokasi mutasi hak pilih secara kolektif, sosialisasi tekhnis memilih, dialog calon anggota legislatif, dan forum kebangsaan calon presiden pada 30 April adalah serangkaian upaya untuk memastikan terpenuhinya hak pilih mahasiswa tanpa terhambat hal tekhnis administrasi. Pun untuk memangkas jarak antara subjek (pemilih) dengan sistem dan objek (calon terpilih) hingga mampu mengembalikan kepercayaan dan harapan publik kepada calon-calon pemimpinnya. Yang kesemuanya bertujuan untuk menekan angka golput dengan motif apapun dan bermuara pada berjalannya sistem demokrasi Indonesia yang optimal sehingga terpilih pemimpin yang ideal dan legitimated.
Lalu ditengah-tengah kondisi politik kekinian, timbul rasa pesimis publik yang akhirnya menganggap bahwa golput adalah sebuah sikap dan jawaban. Benarkah?? Mari bandingkan antara pemilu dengan satu cara pengambilan keputusan lain, yakni musyawarah persidangan. Mayoritas mahasiswa pastinya paham terkait pengambilan keputusan saat persidangan. Dalam tata tertib persidangan, jalannya sidang dapat dipengaruhi oleh jumlah peserta (baca: kuorum) yang hadir. Maka jika terdapat kelompok yang tidak sepakat dengan pembahasan sidang, cukup dengan mengkapitalisasi setengah dari total peserta untuk abstain ataupun keluar persidangan maka pembahasan ataupun sidang akan tertunda. Maka disinilah “ketidakterlibatan yang disengaja” adalah sebuah sikap karena memiliki pengaruh. Namun sistem pemilu berbeda dengan persidangan. Dalam sistem demokrasi Indonesia, kita tidak mengenal istilah kuorum karena hasil akhir pemilu ditentukan hanya dari surat suara masuk yang sah. Misalnya perbandingan golput dan suara sah adalah 90% : 10%, maka yang 10% suara inilah yang menentukan hasil akhir sedang sisanya terabaikan. Artinya berapapun prosentase angka golput / “ketidakterlibatan yang disengaja” tidak akan mempengaruhi hasil akhir pemilu. Inikah yang disebut sikap dan jawaban??
Hari ini bangsa indonesia hidup dalam kondisi darurat dimana sebuah kepemimpinan ideal masih sangat jauh dari apa yang dicita-citakan rakyat. Lambat laun indonesia semakin dijajah secara terang-terangan. Kekayaan energi yang hampir 85% dikuasai asing sehingga tidak jelas siapa tuan dan siapa tamu di negeri ini, komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang semakin menegaskan bahwa “pendidikan untuk semua” hanya harap utopis, belum lagi perihal pemberantasan korupsi dengan jargon dusta “katakan TIDAK !!!”, sengsara rakyat yang disandingkan dengan kebutuhan parpol penguasa dan sederet masalah lain menjadi noda hitam kepemimpinan negeri ini. Menjadi wayang dari sang dalang yang bernama neoliberalisme, kepemimpinan tanpa loyalitas dan visi yang jelas untuk rakyat dan negeri ini.
Tapi sadarkah kita, bahwa kepemimpinan 10 tahun terakhir adalah patungan “dosa” dari kita semua? para pemilih di 2 pemilu terakhir. Yang tidak cermat dalam memilih pemimpin, yang menjadi bagian dari 15,93 % – 29,04 % golongan tanpa sikap, lalu membiarkan pemimpin ideal tergeserkan oleh pemimpin yang hanya menawarkan janji dan menuhankan ketokohan?? Maka mari jadikan pemilu 2014 sebagai momentum kebangkitan bangsa. Mari menjadi pemilih cerdas mencerdaskan yang bergolongan (hati dan nalar) putih nan jernih. Karena satu suara kita adalah satu kontibusi nyata menuju Indonesia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H