Fundamentalisme Islam kian menemukan habitusnya di negeri ini. Betapa tidak, kekerasan demi kekerasan yang mengatasnamakan agama (Islam) kerap terjadi.
Menurut Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A, ciri-ciri umum dari fundamentalisme Islam yaitu (1) gerakan-gerakan Islam yang secara politik menjadikan Islam sebagai ideology dan secara budaya menjadikan barat sebagai the others; (2) memiliki prinsip yang mengarah pada paham perlawanan (oppotionalisme); (3) penolakan terhadap hermeneutika, karena pemahaman Alquran sepenuhnya adalah skriptualistik; (4) dan secara epistemologis, dalam wilayah gerakan sosial-politik menolak pluralisme dan realativisme;serta (5) menolak perkembangan historis dan sosiologis, karena dalam pandangan mereka, “umat manusia yang tengah melakukan aktivitas sejarah di dunia harus menyesuaikan diri dengan teks Alquran, bukan sebaliknya” (Mudjahirin, 2009).
Dari analisa Prof. Thohir ini, bisa dikatakan kekerasan keagamaan merupakan dampak dari fundamentalisme Islam yang pada kenyataanya kian bertumbuh subur di negeri ini. Bacaan Guru Besar Undip ini soal gerakan-gerakan Islam yang secara politik menjadikan Islam sebagai ideology, sejalan dengan pemetaan kecendrungan tipologi respons keberagamaan Prof. Komarudin Hidayat.
Menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, salah satu kecendrungan tipologi respons keberagamaan di Indonesia adalah tipologi profetis-ideologikal. Kecendrungan beragama model ini, antara lain ditandai dengan penekanan yang kuat pada misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan. Karena itu, kegiatan penyebaran agama dengan menambah jumlah pengikut, dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat bangunan ideologis.
Di mata mereka, puncak kebaikan beragama adalah berlakunya hukum-hukum agama dalam perilaku tatanan sosial. Kategori iman dan kafir, orang luar dan dalam, lalu dieksplisitkan dengan menggunakan kategori normative dan ideologis. Sebagai kosekwensi berikutnya, kecendrungan semacam ini sangat sadar menggunakan asset politik dan ekonomi untuk merealisasikan komitmen imanya dalam pelataran praksis sosial, terutama kekuasaan politik (Hidayat, 1998).
Disinilah sesungguhnya substansi persoalan kekerasan keagamaan di Indonesia. Bacaan Prof. Komar ini menemukan relevansinya hari ini. Hal ini kita bisa lihat dari menjamurnya ormas Islam radikal pasca reformasi ’98, yang juga diikuti dengan kian meningkatnya eskalasi kekerasan keagaman oleh ormas radikal ini. Sehingga, selagi gerakan fundamentalisme/radikalisme Islam ini masih bercokol di Indonesia, maka kekerasan keagamaan akan tetap membayangi kehidupan keagamaan di negeri ini.
Ada satu hal yang sesungguhnya menjadikan ormas fundamentalis Islam ini semakin kokoh eksistensinya semenjak rezim SBY berkuasa, yakni adanya perjumpaan kepentingan. Sadar atau tidak, keberaniaan gerakan fundamentalisme/radikalisme Islam dalam memparadekan kekerasan demi kekerasan, karena dibiarkan oleh negara (penguasa). Proses pembiaran ini sebetulnya bukan cek kosong, tapi ada simbiosis-mutualisme disana.
Pertemuan kepentingan itu sangat prgmatis dan parsial, jauh dari kemaslahatan bangsa. Penguasa (untuk menjaga pencitraan) membutuhkan ormas-ormas radikal ini untuk menciptakan stabilitas kekuasaanya. Fungsi ormas ini adalah mengalihkan isu-isu yang berpotensi menohok jantung kekuasaan. Sehingga jangan heran ketika ada isu yang berpotensi menggoyang kekusaan, maka pada saat yang sama muncul kekerasaan yang bermotif keagamaan. Akhirnya, perhatian publik teralihkan dan tersedot oleh isu kekerasaan kegamaan yang dilakukan oleh gerakan fundamentalisme Islam.
Sementara itu, gerakan fundamentalisme Islam memperoleh keuntungan dari “perselingkuhan” dengan penguasa. Mereka memperoleh jaminan “pembiaran” oleh negara akan aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan. Hal ini sudah terbukti dengan sikap “diam” negara selama ini. Sehingga tak heran kalau teriakan yang menggema di seantero negeri untuk membubarkan ormas-ormas (Islam) anarkis tak pernah digubris dan ditindak-lanjuti oleh negara (pemerintah).
Kekerasan keagamaan yang dilakukan gerakan fundamentalisme/radikalisme Islam adalah konflik nilai. Karena menyangkut ideology yang memaksakan hukum-hukum agama dalam perilaku tatanan sosial. Sementara kita semua tahu dan sadar, Indonesia bukan negara agama tapi negara Pancasila yang berdiri diatas kemajemukan (agama, suku, etnis dan golongan). Sehingga jalan satu-satunya untuk mendamaikan kekerasan keagamaan ini adalah negara harus berdaulat dari gerakan fundamentalisme Islam.
Dalam artian negara harus memosisikan diri sebagai penjaga keutuhan NKRI tanpa terfragmentasi oleh kepentingan parsial dan pragmatis kekuasaan. Negara harus dan wajib menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi segenap warga negara dalam menjalankan keyakinannya. Negara tak boleh mandul dan kalah oleh gerakan Islam radikal.