Lihat ke Halaman Asli

Repa Kustipia

TERVERIFIKASI

Gastronomist (Gastronome)

Pentingnya Pengetahuan Lokal di Masa Kini (Studi Kasus Pelestari Bambu)

Diperbarui: 4 Juli 2024   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar : dokumentasi pribadi 

Mengapa di Indonesia tidak ada jurusan Indigenous Studies (Studi Pengetahuan Lokal) di berbagai jenjang strata pendidikan ? Apakah ini merupakan arogansi dari kurikulum pendidikan dan sudah tidak layak dipahami di masa kini ? Di Negara maju dan negara tetangga saja yang sama-sama masih kawasan ASEAN saja kajian Indigenous Studies banyak dibuka dan mulai dari strata 1 (Sarjana), strata 2 (Magister), bahkan strata 3 (Doktoral). 

S3 Indigenous Studies di Filifina 

Di Filifina, studi ini banyak diminati oleh orang-orang Filifinanya yang memiliki latar belakang etnis yang begitu kuat dan mahasiswa internasional yang ingin lebih dalam lagi mengkaji pengetahuan lokal kelompok etnis. Kurikulumnya menawarkan muatan lokalitas seperti mempelajari : bahasa-bahasa etnis (etnolinguistik), cerita-cerita lokal dalam bentuk folklor (budaya rakyat), sampai resep-resep masakan tradisional, bukan berarti mempelajari pengetahuan lokal didefinisikan pada kemunduran. Justru kemajuan karena akan membawa transformasi budaya yang disesuaikan dengan zamannya, generasinya dan perkembangannya. 

S3 Indigenous Studies di Kanada, S2 Indigenous Studies di Selandia Baru, S1 Indigenous Studies di Australia

Di Kanada, peminat pengetahuan lokal menjadi jurusan yang cukup prestisius karena dikurasi dari latar belakang budaya, artinya jurusan ini sama pentingnya dengan jurusan sains teknologi, sosial humaniora, dan jurusan unik lainnya, hal ini pun ditawarkannya bahkan di jenjang S3. 

Di Selandia Baru (New Zealand) banyak juga rupanya jurusan ini di strata S2 (Magister) dimana hal ini bisa diambil oleh berbagai latar belakang pendidikan sebelumnya dengan persyaratan multidisiplin ilmu. 

Dan di Australia sendiri yang notabene kawasan metropolitan seperti Melbourne, menyediakan jurusan S1 Indigenous Studies, artinya hal seperti ini masih dibutuhkan bahkan ada studi jenjang tertingginya. Mengapa di Indonesia jurusan seperti ini tidak tersedia ? Padahal selalu menggembar-gemborkan kayanya budaya dan betapa beragamnya, namun kalah dengan jurusan-jurusan top dimana yang diunggulkan hanyalah untuk para pemikir eksakta dan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi, rupanya sudah mulai lupa bahwa Indonesia harus bisa menyediakan kurikulum untuk setiap etnis, karena jurusan Penerbangan tidak akan cocok dengan kultur masyarakat pesisir, tapi akan sangat dibutuhkan jurusan Pengetahuan lokal tentang cara budidaya di pesisir. Sama seperti masyarakat di pelosok yang masih kental dengan desa hukum adat, mereka tidak akan tertarik belajar sistem informasi, tetapi akan tertarik mempelajari bahasa leluhurnya yang ditransformasikan dengan relevansi hari ini, siapa tahu ada pesan-pesan leluhur yang bisa berguna untuk menyelesaikan problema hari ini ? Apakah hal tersebut tidak menjadi suatu pembelajaran berharga (Lesson Learned) ? 

Korelasi Pengetahuan Lokal dan Pelestari Bambu di Kawasan Jawa Barat

sumber gambar : https://www.istockphoto.com/

Angklung adalah representasi dari implementasi pengetahuan lokal dari bidang seni yang memanfaatkan komoditas bambu sehingga bisa menjadi alat musik yang mengeluarkan suara yang nyaman didengar dengan berbagai harmonisasi iramanya ditambah jika hal ini dipadukan dengan talenta bermusik dengan lagu-lagu daerah.

Bambu (Bambusoideae) secara turun-temurun sudah banyak ditemukan dan sengaja ditanam di lahan-lahan pedesaan, hal ini menyebabkan kesan magis karena kebun atau hutan bambu akan terasa sunyi namun membuat keteduhan tersendiri, manfaat tambahannya ketika suatu lahan memiliki komoditas bambu maka sekelilingnya akan terbawa subur, hal ini dikarenakan karena bambu dapat berkontribusi menyuburkan tanah dari akarnya, hal ini memperbaiki struktur tanah, tidak heran bahwa jikalau ada area, lahan, bahkan kawasan sudah mati dan kering, ketika bertanya ke masyarakat sunda yang didominasi sebagai pelestari ekologi , maka akan disarankan untuk segera menanam bambu, menurut Global Landscape Forum bambu berfungsi untuk restorasi lahan (memperbaiki ekosistem agar bisa menjadi seperti semula dari sisi fungsionalitasnya setelah mengalami kerusakan). Kajiannya bisa dibaca lebih lanjut pada bahasan Land Restoration. 

Dari pengetahuan orang sunda terhadap komoditas bambu, maka bambu memiliki potensi beragam dari mulai kontruksi bangunan, alat musik (angklung), media penyajian dan pengolahan masakan, sampai bambu muda (iwung)-nya saja dikonsumsi sebagai sumber serat. Contoh masakannya adalah tumis iwung/tumis bambu muda yang sering dinikmati dengan nasi hangat dan sambal dadak ditambah lauknya ikan bakar atau ayam goreng serundeng, hal ini sudah terbiasa tersaji di meja makan orang sunda. Andai kata, orang sunda kehilangan warisan pengetahuan lokal ini tidak terinformasikan karena sudah tidak ada broadcast atau komunikasi turun-temurun tentang manfaat bambu, ya bambu hanya dipandang sebagai tanaman yang kadang dibutuhkan kadang tidak karena tidak darurat,, ketika bambu dijadikan komoditas pangan dan dinikmati sebagai cita rasa bahkan pemantik gastronomi sebagai budaya makan, bambu tidak akan hilang. Justru kelestariannya terjaga. Hal seperti ini hanya bisa dikelola oleh pengetahuan lokal. 

sumber gambar : dokumentasi pribadi 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline