Sudahkah pernah membaca ketebalan Undang-Undang Pangan No.18 tahun 2012 ? Jumlah keseluruhannya ada 83 halaman dengan total kata penyebutan pangan berjumlah 887 kata. Jika membaca secara cermat dan mendalam,isinya hanya definisi singkat saja, seperti belum jelas bagaimana detil pangan untuk Indonesia yang memiliki diferensiasi (kbbi : pembedaan) dari Sabang sampai Merauke.
Orang Kalimantan bisa saja bergumam pada komoditas pangan airnya, Ini pangan air sungai. Tentu berbeda dengan orang Sunda yang hanya punya pangan air dari kolam seperti ikan mujair.
Bahkan membedakan perihal tata laksana komoditas saja belum ditemukan riciannya bagaimana.
Undang-Undang Pangan
Sebuah kritik perlu disampaikan pada Undang-Undang Pangan ini karena harus melihat relevansi dinamika apa yang terjadi pada : asupan individu, kebiasaan makan etnis, pilihan konsumsi para perantau, komoditas unggulan per daerah, kondisi pasar nasional dan lokal, bahkan jajanan anak TK dan SD perlu diperhatikan karena jika keamanan pangan tidak terkontrol, dampaknya pada kecerdasan bukan dimana kontribusi gizi yang dikonsumsi akan berpengaruh, itu kan hasil distribusi pangan yang diolah oleh para pengolahnya untuk mencari uang lewat jual beli olahan pangan yang tersaji menjadi : makanan, minuman, jajanan, snack, kudapan, hidangan pada akhirnya.
Dan hal ini luput begitu saja. Membaca Undang-Undang Pangan seperti membaca rangkuman saja yang disajikan poin per poin tanpa ada kedalaman tentang yang dibatas. Bagaimana jika disebut Intisari kata-kata pangan saja bukan Undang-Undang ?
Karena menurut pakar ketatanegaraan persemakmuran Inggris, Sir Kenneth Clinton Wheare dalam buku Modern Contitutions :
Undang-undang (konstitusi) fungsinya adalah untuk mengatur masyarakat dan memberikan arahan untuk kepentingan individu dan kelompok masyarakat secara luas.
Nah, jelaslah bahwa sebuah Undang-Undang Pangan harusnya bisa lebih tebal yang isinya mengatur dan mengarahkan Pangan secara luas dari berbagai provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat individu per golongan usia sesuai dengan kebutuhannya.
Ya, boleh saja multidisiplin berdampingan dengan pembahasan pertanian, peternakan, kehutanan, kesehatan, gizi, bahkan seni (karena seni mengolah makanan itu ada pada setiap individu yang punya cita rasa yang berbeda).