Hal yang pertama ketika membaca antropologi pangan adalah hal aneh dan tidak biasa. Sebab, antropologi kan tidak hanya sosial budaya saja.
Menurut Anthropology of Food Journal yang didirikan pada tahun 1999, Antropologi pangan menggabungkan isu-isu dengan sudut pandang holistik, kedekatan ruang lingkupnya mencakup: Sosiologi (menekankan pada aspek masyarakat), antropologi (manusia dan kebudayaan), geografi (manusia, alam, dan ruang), etnologi (asas kemanusiaan dalam kebudayaan), sejarah (perkembangan peristiwa), Filsafat (makna hidup), ekonomi (manajemen rumah tangga), politik (institusi, perilaku, keputusan) dan masih banyak sektor lain sebagai pelengkapnya.
Untuk menelusuri antropologi pangan, sejenak membuat refleksi dan penemuan informasi sederhana.
Di Amerika ada jurusan Food Studies yang di dalamnya mempelajari antropologi pangan dengan topik-topik terkini seperti: food stamps/bantuan pangan langsung, isu ultra food dan kebijakan, (ultra food disini sebagai makanan pabrik yang diproduksi secara massal dan memiliki dampak pada kesehatan jangka panjang dengan isu kesehatan dan gizi produknya), politik pangan pada pengolah makan seperti chef yang berkulit hitam, pelayanan makanan yang beragama islam, dan makanan para kelompok lesbian.
Tercengang? Itu belum seberapa. Bahasan antropologi pangan pada kajian studi di Amerika ini memang vulgar dan berani karena problema sosialnya pun beragam.
Bagaimana antropologi pangan di Indonesia?
Hal menarik, di mana kajian antropologi pangan hanya berlaku pada pertemuan singkat saja entah itu satu semester atau satu pertemuan berdurasi maksimal 2 jam saja.
Tapi kekuatan antropologi pangan untuk di Indonesia sendiri mendekati kajian sosio-budaya pangan, di mana fungsinya adalah membantu melengkapi kajian, bahasan, penelitian tentang: Studi kebiasaan makan, penyuluhan literasi makanan (termasuk didalamnya pengetahuan gizi), perubahan perilaku konsumsi pangan, produk kuliner masa kini yang entah sudah sampai mana perkembangannya dan perubahannya dan bahkan meninggalkan dan menerobos esensi standar pangan/makanan sehat dan berkontribusi nyata untuk tubuh individu. Itulah fenomena faktual yang jarang dikaji dan dibicarakan.
Fungsi Antropologi pangan di Indonesia selain untuk riset kontemporer, untuk keamanan konsumen karena ada komunikasi budaya untuk menyampaikan pesan-pesan produk kebijakan menyangkut pangan.
Mari ditelusuri secara saksama, seberapa peduli konsumen pada label-label pangan atas makanan? Apakah sudah membaca produksi mana makanan yang dinikmati? Sudahkan mempelajari komposisinya? Adakah penyuluh atau pegiat literasi pangan sejauh ini yang mengingatkan atau menginformasikan jika beberapa kandungan bahan makanan itu mengandung alergen yang menyebabkan alergi untuk beberapa individu dengan penyakit tertentu?