Lihat ke Halaman Asli

Ramadhan yang Sarat Jebakan  

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu Ramadhan 1436 H telah dimulai terhitung sejak Kamis (18/06/2015). Ada sekian milyar Muslim di seantero dunia yang serta-merta memasuki fase baru dalam hidupnya. Baik yang sudah dengan persiapan sebelumnya, atau tak sama sekali.

Tulisan sederhana ini hendak diniatkan untuk menguliti beberapa keganjilan dan penyempalan yang terjadi selama Ramadhan—khususnya yang berlangsung di Indonesia. Entah dimulai sejak kapan. Intinya, perkara ini terkadang membuat rasa kepantasan kita beraduk sengit di dalam diri. Baiklah, mari kita mulai.

Keganjilan pertama jelang Ramadhan adalah, harga daging & sembako melonjak drastis. Ini aneh bukan? Harga melambung itu karena adanya permintaan yang tinggi. Pasti. Pertanyaannya, siapa yang meminta? Besar kemungkinan ya umat Muslim yang menyambut Ramadhan dengan daging, kurma, sirup, penganan, gorengan, dkk seangkatannya. Padahal perintah puasa Ramadhan yang paling tegas adalah, menahan makan-minum (bukan menahan lapar-haus). Sebab tak ada satu pun manusia di jagat ini yang bisa menahan kemunculan lapar dari perutnya, dan rasa haus yang timbul dari kerongkongannya. Kerana yang ditahan lapar dan haus, maka wajar ketika berbuka, segala makanan yang sebelum Ramadhan tak pernah ada, diadakan. Sebanyak mungkin kalau bisa.

Keganjilan kedua. Jamaah shalat khususnya Isya & tarawih tumpah ruah hingga ke luar masjid. Pekan kedua hingga ketiga Ramadhan, fenomena ini terus menyusut. Sebab para jamaah yang semula semangat berapiapi itu, sudah pindah berjamaah ke cafe di banyak mall. Dalihnya, ngabuburit dan buka bersama. Meskipun kalau mau menggunakan Hadis, perbuatan itu sama sekali tak pernah dikerjakan Nabi Muhammad Saw. Termasuk tarawih, yang tak pernah beliau kerjakan secara berjamaah di Masjid Nabawi, melainkan di kediamannya.

Keganjilan ketiga. Kebisingan merajalela di seantero tempat. Terutama di kitaran masjid. Anak-anak kecil seolah dapat izin tak tertulis dari orangtua mereka untuk meledakkan gendang telinga banyak orang dengan petasan berjenis rupa—yang sudah sama kita tahu, kerap menelan korban tahun ke tahun.

Belum lagi pelantang suara di masjid yang seenaknya saja berkoar di pagi buta, dengan dalih membangunkan sahur. Khusus di tempat penulis bermukim, masjid kami bersebelahan dengan salah satu keluarga non-Muslim. Selama ini mereka memang diam saja. Warga kampung kami pun dengan bangga sambil petantang-petenteng mengatakan bahwa mereka (keluarga non-Muslim) harus punya tenggang rasa. Padahal kalau kondisinya kita balik, apakah kita yang Muslim sanggup seperti itu? Sampai di sini, sudah terjadi penindasan dari yang mayoritas pada minoritas. Agama, Islam khususnya, tak syak berdiri di atas landasan yang rapuh begitu.

Mari kita lanjutkan kajian perihal puasa secara lebih bertanggungjawab. Kata puasa dalam bahasa Arab adalah “shiyam atau shaum,” keduanya merupakan bentuk masdar (menunjuk pada makna pekerjaan), yang bermakna menahan. Sedangkan secara istilah fiqh, berarti menahan diri sepanjang hari dari terbitnya fajar sampai matahari terbenam dengan niat tertentu; menahan dari segala sesuatu yang menyebabkan batalnya puasa bagi orang Islam yang berakal, sehat, dan suci dari haid dan nifas bagi seorang Muslimah.

Puasa Ramadhan hukumnya wajib bagi semua Muslim/ah beriman yang memenuhi syarat melakukannya. Sementara bagi penulis, yang masih punya perkara besar pada perut & perkelaminan, yang menjadi bentuk kelancangan pada larangan Allah Swt, jelas tak masuk kategori wajib puasa.

Ketika hijrah ke Madinah, sejatinya Rasulullah Saw telah menunaikan puasa. Misal, puasa Putih (tiga hari setiap bulan) dan puasa Asyura. Setelah itu Allah Swt mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan sebagaimana disebutkan dalam al-Quran. Siti Aisyah ra, mengatakan bahwa sebelum datangnya kewajiban puasa Ramadhan, Rasulullah Saw telah melaksanakan puasa Asyura. Setelah kewajiban puasa Ramadhan turun, siapa pun diperbolehkan melaksanakan puasa Asyura atau meninggalkannya.[1]

Puasa kan mestinya menahan hawa nafsu sendiri. Bukan mengurusi hawa nafsu orang lain. Maka yang sepantasnya dipersiapkan adalah, kosongkan rumah dari makanan-minuman. Apa pun jenisnya. Sepikan diri dari kuasa hawa nafsu. Kosongkan diri dari keakuan (ananiyah) yang jadi ciri hadirnya sifat keiblisan dalam diri manusia. Sepi-menyepi. Dalam hal ini, ritus masyarakat Bali bisa dijadikan bahan pembelajaran atau pembanding sebelum kaum Muslim melakoni puasa Ramadhan. Dari disiplin seperti itulah kewajiban puasa baru mulai berlaku. Sebab yang sanggup melakukan itu adalah mereka yang beriman saja:

Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline