Lihat ke Halaman Asli

Cinta Mati Gaya Ahok (2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1385694084548844458

[caption id="attachment_305369" align="aligncenter" width="583" caption="Foto oleh: Reno Muhammad"][/caption] Anda yang lahir di era 90-an, pasti akrab dengan kartun Dragon Ball produksi Jepang. Sebuah kisah petualangan Son Goku (孫 悟空) si jago kungfu yang baik hati. Nama Goku sendiri terambil dari tokoh legenda Tiongkok, Petualangan ke Barat, Sun Wukong, yang mengisahkan perjalanan Buddha Gautama bersama murid-muridnya.

Son Goku adalah anak yang tampan dan juga pemberani. Ia bertarung membela kebenaran sampai ke langit. Semata mewujudkan hidup yang lebih baik dengan bantuan sembilan bola naga. Sebagai anak yang juga tampan dan tumbuh di Jakarta, saya jelas terpengaruh oleh kartun legendaris ini. Bahkan dengan begitu bersemangat, saya mulai menancapkan cita-cita agar kelak menjadi Son Goku.

Dua dekade setelah masa kecil saya berlalu, ternyata Tuhan tidak mengabulkan cita-cita saya menjadi Son Goku. Karena yang ditakdirkan menjadi sahabat Naga Shenlong itu adalah anak dari Belitung yang sudah jadi bapak tiga orang anak, Nicholas, Natania, dan Daud Albeenner. Dialah, Ahok.

Sahabat Naga itu kini telah hadir di Ibukota yang sarat nuansa plurarisme. Lantas siapa dan seperti apakah Suhu yang berada di balik hidupnya? Tak ada nama lain kecuali Zhoung (Tjung) Kim Nam. Kisah pribadi di antara keduanya layak dijadikan bahan pembelajaran bagi kita semua.

Lima tahun silam mungkin hanya segelintir orang saja yang antusias ingin mengenal Ahok. Tapi setelah anak Belitung ini mampu mengatasi persoalan pelik Ibukota, jutaan pasang mata kini menyorot padanya.

Sedari mafia kelas teri seperti ormas-ormas yang menyokong jasa sewa lahan, hingga mafia kakap yang hidup menggelandoti sistem Pemda DKI secara internal, semua habis dibuat kocar-kacir dengan gaya khas a la jagoan bak film-film Mandarin.

Belajar “Kungfu”

“Bapak meminta saya menjadi dokter. Sebab warga di kampung kami butuh dokter. Banyak yang orang yang meninggal karena nggak ada dokter.” Ahok pun dilema. Sebab di lain pihak, dirinya sangat mengidam-idamkan menjadi insinyur pertambangan. Hingga akhirnya waktu pun menjawab.

Institut Teknologi Bandung (ITB) Fakultas Pertambangan dan Universitas Indonesia (UI) Fakultas Kedokteran adalah sasaran pertama dan kedua yang dituju Ahok. “Sebetulnya saya mau masuk ITB karena ingin menjadi insinyur tambang,” pungkas Ahok yang juga memiliki hobi menulis ini.

Tapi apa lacur, saat pengumuman, Ahok dinyatakan tidak lulus di kedua universitas itu. “Karena nggak bisa masuk, bapak memaksa saya masuk Universitas Kristen Indonesia (UKI)—Fakultas Kedokteran.” Lucunya, karena dorongan pribadi yang kuat, Ahok memutuskan untuk kabur selama seminggu dari kelas demi mencari kampus yang sesuai keinginannya.

Setelah mencari-cari, alhasil Ahok berhenti pada pilihannya di Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Trisakti. Pada waktu itu hanya ada jurusan Perminyakan dan Geologi. “Kalau Perminyakan nggak mungkin saya pulang ke Belitung. Tapi kalau Geologi masih bisa—masih mirip,” lanjut Ahok.

Usai mengetahui keputusan anaknya, selama tujuh bulan Kim tak mau berbicara pada Ahok. Akan tetapi, Ahok ingin membuktikan ramalan Kim dan adik perempuannya di masa lalu. Ahok mengingat, “Sewaktu kecil, bapak sama tante saya bilang ke semua orang terdekat, ‘“Ahok ini sekolah tinggi-tinggi, supaya nanti dia pulang jadi bupati, jadi pejabat.”

Alasan kenapa ia bersikeras ingin menjadi insinyur pertambangan ialah supaya bisa bekerja dan menjadi kepala produksi di PN Timah (sekarang PT Timah), Bangka Belitung. Pasalnya saat masih mukim di sana, sedari satpam, supir, hingga pejabat yang ada di PT Timah, kerap berlaku sewenang-wenang pada masyarakat sekitar.

Bahkan kebijakan yang diambil oleh kepala produksi di perusahaan tambang itu melebihi kuasa seorang camat. Sampai-sampai keperluan rumah tangga seperti air, listrik, telepon se-Bangka Belitung diakomodir oleh PT Timah pada masanya.

Pepatah mengatakan, semakin tinggi pohon maka semakin besar pula angin yang menerpanya. Tak berhenti sampai di situ. Sewaktu Ahok sudah duduk di bangku SMA, lawan yang dihadapi Kim bukan lagi preman pabrik atau preman kelas teri yang doyan makan uang recehan, melainkan preman yang duduk di kursi pemerintahan.

Ahok menuturkan, “Bapak saya selalu ribut sama bupati hanya gara-gara kejujuran.” Hal ini sampai membuat nama Kim tercoret dari bursa perolehan tender mengurusi pertamanan Bandara HAS Hananjoedin (dulu bernama Bandara Buluh Tumbang). Padahal awalnya, Kim adalah kontraktor untuk bandara itu.

Sambil mengenang ucapan Kim, Ahok kembali berbagi cerita, “Bapak saya bilang, fondasi di bandara ini sudah kuat, nggak perlu fondasi yang lebih dalam.” Rupanya pada waktu itu ada kontraktor lain yang ingin ikut bermain memegang proyek pembangunan jembatan bandara. Alasan utama mereka ialah memperdalam ukuran tiang pancang demi pengadaan bahan baku pembuat pancang—yakni batu granit.

Kontrakor itu bersikeras bahwa kedalaman pancang itu harus 60 meter, padahal senyatanya hanya memerlukan panjang enam meter. Tak ayal harga pembangun jembatan berjarak pendek itu membengkak hingga ratusan juta rupiah. Padahal, “Dulu dengan uang Rp30 juta saja, bapak saya bisa bikin lima jembatan,“ kenang Ahok.

Kim tak terima dengan keputusan bupati yang tak logis itu. ia pun melawan. Di saat bersamaan, pelbagai cara juga dilakukan oleh si bupati guna menyingkirkan Kim.

Jelang tengah malam, seorang komandan kodim (dandim) yang bertugas di Tanjung Pandan datang menyambangi rumah Kim untuk menangkapnya dengan tuduhan anggota PKI. Si Dandim pun ngotot ingin menggelandang Kim dari rumahnya.

Sudah menjadi rahasia umum, di zaman Orde Baru, tensi perpolitikan semakin tinggi apabila tersiar berita tentang PKI dan antek-anteknya. Setiap pejabat daerah sedari bupati hingga gubernur, seolah diharuskan memiliki latar belakang militer. Peluang menjadi bupati dan gubernur menjadi besar jika yang mencalonkan adalah anggota militer berpangkat letnan kolonel (letkol) atau letnan jenderal (letjend).

Sewaktu ingin digelandang, meluncur sebuah diplomasi cerdas dari mulut Kim, “Pak Dandim apa nggak salah diperintah Bupati untuk menangkap saya? Pak Dandim sadar tidak, kalau bupati yang sekarang jatuh/dipecat, maka Pak Dandim bisa jadi penggantinya?”

Akal dan hati si Dandim pun seolah teraduk perkataan Kim. Pasalnya tak ada bukti kuat tentang keterlibatan Kim di PKI. Ditambah lagi soal gengsi. Sebab bupati yang memerintahnya pada waktu itu, juga seorang letkol. Pangkat yang juga sedang ia emban.

Keesokan paginya, Kim mendapat kabar bahwa bupati yang ingin menyingkirkan Kim, langsung diterbangkan ke kampung Cikini, Jakarta, akibat tekanan darah tinggi. Alasannya, “Dandim nggak mau menuruti perintah dia,” tutur Ahok santai di sela perbincangan kami.

Wajah Jakarta mulai terlihat sumringah. Blog G Tanah Abang seolah disulap dalam satu sapuan tongkat. Para preman mulai belajar berpolitik praktis. Meski tarik ulur kepentingan terjadi di banyak lini. Semua tak lepas dari peran dua pendekar tangguh kita, Jokowi dan Ahok.

Sosok yang pertama gemar berdiplomasi. Sementara konconya, susah betul diajak kompromi. Perpaduan mereka unik, tapi menarik. Dikatakan langit bumi, tapi hasilnya signifikan untuk merias Jakarta. Target yang akan disasar berikutnya, kitaran Kali Ciliwung di Istiqlal. Ahok berjanji akan mengubah wajah muramnya persis seperti Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan sana.

Sebelum sampai di sana, kali ini, saya akan kembali bercerita seputar sisi romantis dan feminis “sahabat naga” kita yang terdampar di Jakarta itu. Lagi-lagi, semua dimulai dari belajar jurus-jurus dasar.

Belajar Jurus Dasar

Sedari umur dua tahun Ahok sudah mengenal dan belajar bicara di Jakarta. Tapi Kim melihat ada yang aneh pada anaknya. Sementara teman-teman sebayanya sudah bisa berbicara, lidah Ahok malah masih kelu. Maklum saja, di era 60-an, fasilitas kesehatan di Belitung belum memadai. Kim pun memutuskan untuk membawanya berobat ke Jakarta.

Selain rumah di Belitung, ternyata Kim juga memiliki rumah di Kali Baru Timur, Pasar Senen, Jakarta Pusat. Setibanya di rumah, gayung pun bersambut. Sebelum berangkat periksa ke dokter, sebuah becak melintas di depan rumah.  Ahok pun sontak berteriak, “Becak ..!”

“Nah, gara-gara sebuah becak itulah, aku saya jadi ke dokter untuk berobat. Padahal saya baru bisa ngomong saat berumur empat tahun.”

Cerita tentang Daud Albeenner, anak Ahok yang paling bungsu, juga lucu. Sambil melanjutkan perbincangan kepada kami, mengatakan, “si Daud, anak saya yang paling kecil, lebih lucu lagi. Sewaktu perdana berbicara Daud bingung mau ngomong apa. Dari mulutnya muncul kata Kaa … Ka … Ka, sambil menunjuk mobil. Ternyata dia mau ngomong car, pakai bahasa Inggris. Jadi dia lebih canggih dari saya.”

Meski terlambat bicara, tapi saat ini, siapa warga Jakarta yang meragukan ketajaman lidah Ahok?

Ketulusan, kerja keras, keberanian, dan sikap pantang menyerah,  telah membawa karir dan nama Ahok melejit ke seantero Indonesia. Bak naga yang terbang ke angkasa dan membelah samudra. Semoga naga kita ini tetap meliuk di jalan yang benar. [Bersambung]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline