Lihat ke Halaman Asli

Pengesampingan Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi

Diperbarui: 2 Maret 2022   16:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: Antara Foto/Hafidz Mubarak melalui Kompas.com

Dalam melaksanakan pengesampingan sifat final dan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya Pembentuk undang-undang memiliki alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dengan dikuatkan melalui peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, ada alasan pembenar bagi pembentuk undang-undang untuk inkonsisten terhadap norma yang dibuatnya sehingga tidak menjadi sewenang-wenang dengan kekuasaannya.

Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian konstitusionalitas undang-undang dikesampingkan oleh pembentuk undang-undang, seperti contoh yaitu dalam Putusan Nomor: 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013 yang membatalkan frasa "dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah" pada Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menilai pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris tidak perlu melalui persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD).

Pada tahun 2014 setahun setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pembentuk undang-undang melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Salah satu materi perubahan adalah menetapkan kembali persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) wilayah dalam pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris.

Sebagian pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi oleh pembentuk undang-undang lainnya terjadi seperti pada:

  1. Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 dikesampingkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan;
  2. Putusan MK No. 026/PUU-III/2005 dikesampingkan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 Tentang APBN Tahun 2007;
  3. Putusan MK No. 005 / PUU -- IV/2006 dikesampingkan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Komisi Yudisial;
  4. Putusan MK No. 005/PUU--IV/2006 dikesampingkan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi; 
  5. Putusan MK No. 26 / PUU -- IV/2006 dikesampingkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 Tentang APBN Tahun 2007.

Salah satu materi undang-undang yang disahkan tersebut adalah menghidupkan kembali norma yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi. Penghidupan norma yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 merupakan wujud dari tindakan pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai respon dari pembentuk undang-undang yang tidak sependapat dengan Mahkamah Konstitusi.

Padahal umumnya praktik pada badan peradilan seperti pada perkara pidana, perdata dan tata usaha negara tidak dikenal adanya pengesampingan atau ketidakpatuhan atas suatu putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Adapun pihak yang merasa tidak puas dan keberatan atas putusan yang dikeluarkan badan peradilan, maka pihak tersebut dapat mengajukan upaya hukum sepanjang masih diperkenankan menurut hukum acara yang berlaku.

Dengan tidak ada lagi upaya hukum atau pihak yang berperkara menerima putusan maka putusan tersebut harus dilaksanakan serta dipatuhi tanpa terkecuali untuk menjamin tercapainya tujuan hukum mendapatkan kepastian hukum. 

Ternyata hal demikian tidak berlaku dalam praktik pelaksanaan putusan pengujian konstitusionalitas undang-undang, meskipun putusan dikeluarkan langsung oleh Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan cabang kekuasan kehakiman selain Mahkamah Agung.

Dalam praktiknya Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki kewenangan membuat undang-undang dapat serta merta mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi. 

Dengan adanya pengesampingan putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan semua pertimbangan yang ada dalam putusan tersebut menjadi tidak berarti dan tidak ada nilainya, begitupun dengan proses panjang persidangan yang memerlukan waktu, tenaga, dan biaya bahkan menggunakan anggaran negara menjadi sia-sia. -RM. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline