[caption caption="Source: www.123rf.com"][/caption]Sudah (sangat) lama tulisan sepanjang ini tak mampir. Dua tahun. Atau lebih? Mari mampir kali ini. Berita apa yang dibawa? Tak ada. Hanya uneg-uneg kekesalan yang entah harus diceritakan kepada siapa.
Ah! Sudah lama tak datang, sekalinya datang yang dibawa hanya keluhan! Ya sudahlah. Apa boleh buat. Mulailah...
Keinginan manusia itu katanya nggak akan ada habisnya. Ada saja maunya. Dikasih itu, mau ini. Sudah dikasih ini, maunya itu. Begitu memang. Manusia. Muncullah kemudian pembenaran yang bernama manusiawi.
Contoh pasti banyak. Ini salah satunya. Setiap orang, pasti mengalami tahap sekolah mulai dr SD, SMP, SMA, kemudian kuliah. Setelahnya, dunia kerja menanti. Saat SD, pikiran rasanya diajak ‘bermain’, ketika melihat kakak-kakak mengenakan seragam putih biru. Hati pun rasanya ingin segera meninggalkan si putih merah.
Cepat atau lambat, keinginan itu terwujud. Putih biru kini melekat sehari-harinya bersama dengan segala keceriaan yang mengikuti. Tapi kok rasanya pikiran ini lagi-lagi berimajinasi ketika melihat kakak-kakak berbalut putih abu-abu. Kerumitan memilih jurusan, guru killer, sibuk milih kuliah kemudian menjadi masalah yang ‘diidam-idamkan' untuk kita pikirkan. Mungkin persoalan putih biru kurang berat.
Cepat atau lambat, keinginan itu terwujud. Bingung memilih jurusan, mata pelajaran yang kelewat susah, guru yang nggak asyik, tak lagi sekadar menjadi masalah yang ‘diidamkan' untuk dipikirkan. Ia benar-benar menjadi nyata di pikiran. Namun, lagi-lagi, ‘teman bermain’ itu datang. Melihat kakak-kakak berbaju bebas dengan menggenggam buku tebal serta binder ke sana kemari, seolah lebih asyik dijalankan. Ia pun mendatangi kita.
Berbaju bebas, buku tebal dalam genggaman kini hidup. Tak lagi hanya menetap di pikiran. Euforianya mungkin tak sampai 3 semester. Tugas mingguan dosen ini, kuis dosen itu, kerja kelompok dosen anu, semuanya menghambur, ditambah skripsi di depan mata yang entah mau topik apa. Bisa-bisanya dulu memiliki keinginan seperti ini? Mari segera lulus, agar ini tak lagi menjadi beban. Begitu batinnya.
Hari itu datang juga. Skripsi, dosen galak, UAS, PR matematika, ulangan fisika tak lagi menjadi teman. Bebas dari semuanya. Lega. Kini, ada yang lain yang menunggu. Dunia kerja.
Tak ada yang tak antusias menghadapi pekerjaan pertama. Suasana baru. Teman baru lagi. Lingkungan baru. Tantangan baru. Meski beberapa kecemasan menyelinap, antusiasme tetap bertahan. Belum lagi bayangan bisa menghasilkan uang sendiri. Bebas mau beli apa saja tanpa harus meminta. Sungguh menyenangkan.
Satu bulan, dua bulan, enam bulan, satu tahun waktu berjalan. Segala persoalan kembali datang. Rutinitas, tantangan pekerjaan, target, persaingan yang ketat, politik kantor yang kuat, teman yang entah teman atau hanya sekadar 'teman'. Belum lagi waktu untuk keluarga yang berkurang. Fisik pun terkuras. Mengapa semuanya tak terasa semenyenangkan ketika bermain “kantor-kantoran” saat SD? Mengapa masa di mana masalah hanyalah ulangan matematika yang dulu sangat dihindari terasa lebih mudah?
Begitu memang. Meski bukan ‘literally’ menginginkan masa itu, selalu ada momen di mana hal itu benar-benar dirindukan. Masa di mana hanya ulangan dan PR matematika, fisika, kimialah yang paling mendominasi ruang pikir.