Dalam sebuah rekoleksi, seorang Frater (sekarang sudah Pastor) pernah bereksperimen dengan dua buah gelas plastik bekas minuman mineral yang berisi bibit kecambah. Gelas pertama, sejak awal diberikan kata-kata baik dan pujian. Dia pun bertumbuh cepat. Sementara gelas kedua, sejak awal diberikan kata-kata tak baik, seperti makian atau umpatan. Boleh percaya, boleh tidak, gelas kedua bibitnya tidak bertumbuh bahkan akhirnya pelan-pelan mati.
Pernah suatu hari, saya harus mendengar satu kata umpatan itu ditujukan pada saya. Dari seorang teman yang semula baik-baik saja. Mungkin saking kesalnya dia pada saya, entah karena apa, maka keluarlah satu kata jenis binatang itu.
Satu kata tersebut sebernarnya sudah tidak aneh di telinga saya sebab sudah sering terdengar apalagi dalam pergaualan zaman sekarang. Nggak anak sekolah, mahasiswa bahkan orang dewasa seringkali menggunakan satu kata itu dalam kondisi mereka. Tidak peduli sedang emosi buruk maupun senang. Apalagi sedang bermain games.
Meski saya suka gemas dan sungguh tidak suka mendengar kata itu berseliweran di telinga, tapi ya sudah. Mau gimana lagi.
Hanya saja, ketika satu kata itu ternyata ditujukan pada saya dengan alasan tidak jelas dan demi meluapkan emosinya, saya jadi langsung merasa ada yang sakit di dalam hati. Bahkan membuat air mata jatuh. Kata umpatan itu benar-benar menyakiti hati saya. Butuh waktu cukup lama buat mengobatinya.
Kata Umpatan Daerah
Sebenarnya kata umpatan itu di beberapa daerah ada yang menjadi ciri has daerah itu sendiri. Anda pasti tahu beberapa diantaranya.
Di tanah kelahiran saya, di Lampung, ada juga satu kata umpatan yang tidak sehits dari daerah Jawa (baik Jawa Barat, Jawa Tengah atau Jawa Timur). Baru-baru ini saja saya dengar kata itu mulai diujarkan beberapa orang. Itu pun melalui medsos.
Waktu kecil, pertama saya dengar kata itu dari seorang tetangga yang memang kebetulan adalah seorang preman. Dia menggunakan kata itu dalam berkomunikasi setiap harinya. Saking seringnya, saya jadi merasa biasa. Tapi, bapak dan ibu alm selalu mengingatkan saya untuk tidak menggunakan kata itu sebagai cara melampiaskan emosi. Apa pun alasannya.
Apalagi kemudian si tetangga juga mulai sering mengeluarkan kata lain yang setelah saya besar baru tahu itu adalah kata lain dari jenis kelamin laki-laki. "Itu kata-kata kotor, nggak baik anak perempuan dan siapa saja mengeluarkan kata itu."
Seiring waktu, ternyata kata-kata itu seperti sebuah kata yang biasa saja. Kadang malah menjadi semacam penekanan, bukan lagi umpatan. Kesan negative seperti hendak dibuang.dengan membiasakan kata-kata itu berseliweran, baik verbal maupun non verbal. Orang yang mendengar atau membacanya menjadi tidak merasa itu adalah kata tidak baik atau berkonotasi buruk melainkan kata biasa bahkan bisa menjadi sebuah lelucon baru.
Tapi, tidak dengan saya.