Lihat ke Halaman Asli

renita sukma melati

Mahasiswi UNJ

Krisis Pemikiran Kritis dan Penindasan Selama PJJ dalam Perspektif Paulo Freire

Diperbarui: 22 Desember 2022   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Terhitung dari 2 Maret 2022, sudah lebih dari dua tahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Sejak itu kasus Covid-19 terus melonjak sampai menelan banyak korban jiwa. Wabah ini tidak hanya berdampak pada bidang kesehatan, namun juga berbagai bidang kehidupan lainnya, seperti ekonomi, politik, sampai pendidikan. Di dunia pendidikan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan untuk melaksanakan pembelajaran secara daring atau yang dikenal dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Keputusan ini diambil guna menekan tingkat penularan Covid-19. Keputusan yang diambil oleh pemerintah tidak hanya berlaku pada jenjang sekolah dasar atau jenjang tingkat atas, namun juga sampai perguruan tinggi atau tingkat universitas. Mau tidak mau mereka harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh, walau tidak semua dari para peserta didik atau mahasiswa terbiasa belajar secara daring. Pembelajaran jarak jauh ini dilakukan dengan memanfaatkan berbagai platform, seperti Google Classroom, Google Meet, Zoom, WhatsApp Group, dan sebagainya.

Selanjutnya, mengutip dari Meidawati, pembelajaran daring formal yang dilaksanakan oleh sekolah, namun lokasi antara pendidik dan peserta didik terpisah. Hal ini menyebabkan diperlukannya sistem telekomunikasi yang interaktif untuk memastikan hubungannya keduanya berjalan efektif. Namun, pada kenyataannya pembelajaran jarak jauh ini banyak menemui kesulitan bahkan dinilai kurang efektif karena peserta didik bebas-merdeka untuk belajar. Tak hanya itu, kerap kali ditemui kegiatan pembelajaran dibebankan kepada orang tua murid yang sebenarnya masih kurang dalam pengetahuan dan pengaplikasian pembelajaran jarak jauh. Metode pembelajaran ini juga disinyalir berdampak pada menurunnya kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Berdasarkan hasil observasi di MTs SA Daruh Istiqomah Woro Kepohbaru (2021), karena pembelajaran dilaksanakan secara daring peserta didik tidak mendapatkan kesempatan untuk membangun konsep atau pemahaman sendiri terhadap apa yang ia pelajari, sedangkan guru hanya menekankan pemahaman peserta didik tanpa mengaitkannya dengan kemampuan berpikir kritis sehingga peserta didik tidak dapat mengembangkan atau mengekspresikan kemampuan berpikir kritisnya. Hal ini dapat terjadi karena selama masa pembelajaran jarak jauh, peserta didik akan kesulitan untuk berdiskusi yang sebelumnya hal itu difasilitasi guru dengan memberikan ruang diskusi khusus untuk memecahkan sebuah studi kasus dari materi yang dibahas.

Berdasarkan pemikiran Paulo Freire sistem pendidikan tersebut adalah pendidikan yang menindas. Guru bertindak selayaknya penindas dengan membebankan tugas ke pada peserta didik secara tidak manusiawi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, peserta didik juga tertindas dalam pembelajaran jarak jauh karena model pembelajaran seperti ini yang cenderung anti dialogis. Pembelajaran jarak jauh tidak memberikan hasil yang maksimal dalam proses pembelajaran karena keterbatasannya yang menjadikan peserta didik sekadar objek pendidikan. Berdasarkan pemikiran Freire inilah yang disebut konsep pendidikan gaya bank, yakni pengetahuan dilihat sebagai anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang merasa dirinya berpengetahuan dan lebih tinggi kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa pun.

Pendidikan gaya bank yang terlihat di proses pembelajaran selama masa pandemi inilah yang berpengaruh  banyak dalam menumpulkan pemikiran kritis para peserta didik. Peserta didik hanya dilihat sebagai objek yang dapat disamakan dengan sebuah benda yang mudah diatur. Kekosongan proses dialog selama proses pembelajaran membuat peserta didik tidak dapat mengembangkan kemampuan penalarannya. Hal ini juga yang disebut oleh Freire sebagai dehumanisasi atau membentuk manusia menjadi jauh dari kodratnya.

Tak hanya digerus kemampuan berpikir kritisnya, peserta didik juga ikut tertindas dalam proses pembelajaran jarak jauh. Seperti yang telah dijelaskan bahwa peralihan model pembelajaran menjadi daring ini membuat media pembelajaran pun beralih ke berbagai platform yang memerlukan sumber daya pendukung lainnya, seperti internet dan kekuatan sinyal yang stabil, gawai atau laptop, atau tempat kondusif untuk belajar. Hal-hal yang disebutkan tersebut nyatanya tidak semua dari peserta didik memilikinya. Pada akhirnya ketimpangan akses dan kemampuan yang tidak merata dalam menangkap materi dengan model pembelajaran daring membuat peserta didik justru tertekan selama proses pembelajaran.

Sejatinya, pendidikan adalah sebuah wadah untuk peserta didik mengembangkan dirinya menjadi manusia yang berpotensi secara intelektual melalui proses transfer ilmu dan nilai. Maka, pendidikan sudah seharusnya juga berfokus pada setiap aspek yang ada dan tidak dikerdilkan menjadi kebutuhan praktis saja. Dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh hal inilah yang terlewatkan. Pembelajaran jarak jauh gagal memberikan wadah bagi peserta didik untuk berdialog dan menemukan jati dirinya sebagai manusia. Pembelajaran jarak jauh juga gagal dalam melibatkan peserta didik dalam penalaran segala fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya untuk menumbuhkan daya kritis yang dimiliki mereka.

Untuk menghadapi semua kekurangan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi Covid-19, Freire memiliki sebuah gagasan yang dikenal dengan pendidikan hadap masalah. Dalam konsep pendidikan ini, guru mengembangkan model pembelajaran dengan pemberian stimulus-stimulus bagi peserta didik agar mereka terlatih dalam melihat serta menganalisis segala masalah yang terjadi di sekitarnya. Hal ini dapat menutupi kekurangan pembelajaran jarak jauh yang kurang melibatkan siswa dan berakhir pada menumpulnya kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis.

Proses pembelajaran jarak jauh terlalu banyak didominasi oleh guru, di sisi lain peserta didik hanya diberi ruang gerak sedikit dan membuat mereka kurang mampu mengungkapkan kemampuannya dalam berpikir kritis. Maka, diperlukan kesadaran kolektif untuk mengembalikan pendidikan yang humanis setelah arus wabah Covid-19 ini menurun. Pendidikan di Indonesia perlu lebih melibatkan peserta didik dan membantu mereka untuk berkembang secara normatif menjadi lebih baik serta membantu mereka untuk mengembangkan kemampuannya di segala bidang, baik secara intelektual ataupun spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Freire Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas,terjemahan F Danuwinata, Jakarta, LP3ES (2008)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline