Vox Populi Vox Dei-Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan. Begitulah salah satu adagium hukum menyatakan betapa pentingnya kedaulatan rakyat sebagai kunci penentu segala kebijakan.
The Guardian Of Constitution di Indonesia termanifestasikan dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) sebagai institusinya. Kehadiran MK sejatinya berorientasi pada pengawalan terhadap hak warga negara yang terjamin dalam konstitusi.
Marwah dan kewibawaan institusi MK, sejatinya tercermin dalam tindak tanduk dan moralitas hakim di dalamnya. Namun, selama 20 tahun perjalanan MK, degradasi moral para hakim kian terlihat dan menjadi bukti betapa bobroknya institusi ini.
Alih-alih menjadi lembaga yang dipercaya sebagai penjamin hak warga negara, MK justru menuai krisis kepercayaan dari masyarakat Indonesia.
Beberapa potret hilangnya moralitas dari Hakim MK dapat diamati dari kasus Akil Mochtar yang menerima suap sengketa pilkada Kabupaten Buton dan tindak pidana pencucian uang pada tahun 2013. Selanjutnya, kasus Patrialis akbar yang menerima suap dalam pengujian materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Degradasi moral Hakim MK semakin terlihat dengan adanya skandal pemalsuan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 oleh Guntur Hamzah yang kian merusak citra MK di mata masyarakat.
Melihat beberapa potret degradasi moral dari beberapa Hakim MK, tentu tidak dapat dilepaskan dengan adanya pola rekrutmen yang belum berada pada tataran ideal. Ibarat menanam sebuah pohon, maka harus dipilih tunas yang terbaik agar dapat memberikan hasil panen yang maksimal. Begitupun dalam memilih wakil tuhan pada kursi konstitusi, maka harus dipilih calon yang kredibel dan tinggi integritasnya agar dapat berbicara keadilan dengan lantang tanpa ada tendensi politik yang membuatnya takut.
Tidak idealnya pola rekrutmen Hakim MK dikarenakan tidak adanya peran rakyat untuk melakukan kontrol terhadap sistem rekrutmen Hakim Konstitusi di Indonesia.
Saat ini, pemusatan kewenangan sistem pemilihan Hakim MK hanya dipusatkan kepada 3 lembaga yakni MA, DPR, dan Presiden. Legitimasi tersebut sesuai dengan amanat Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa 9 orang hakim konstitusi masing-masing diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat , Presiden, dan Mahkamah Agung dengan komposisi yang seimbang.
Selanjutnya terhadap tata cara pengangkatan Hakim MK, Indonesia belum memiliki pedoman yang tetap yang juga menjadi problematika dalam pembahasan ini. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tata cara seleksi hakim konstitusi diberikan kepada lembaga pengusul. Melihat ketentuan ini, artinya ketiga lembaga pengusul yang dimaksud memiliki kewenangan penuh dalam menentukan bagaimanakah pola rekrutmen Hakim MK sesuai kehendaknya sendiri yang memunculkan trifurkasi sistem pemilihan.