Lihat ke Halaman Asli

Reni P

Saintis yang lagi belajar nulis

Lelakipun Berhak Sedih

Diperbarui: 23 Juni 2019   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa bulan terakhir saya rehat menjadi penulis lepas untuk sedikit lebih teliti dalam mendengarkan apa-apa yang terjadi di sekitar saya. Saya bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk mendengarkan celoteh orang-orang yang riang maupun penat dalam kehidupannya masing-masing. 

Tentunya mendengarkan bukan hanya menerima gelombang suara sambat saja, ada pekerjaan memahami pola perasaan dan pikiran hingga merespon setiap kisah yang telah dipercayakan untuk menjadi pengetahuan bagi diri saya.


Menarik namun ironi, ada hal yang baru saya sadari beberapa saat yang lalu, yaitu adanya fenomena ketertutupan lelaki di kala masa terpuruknya. Sebenarnya secara gender, tentu perempuan pun ada saja hal yang mereka tidak bisa ceritakan pada siapapun selain dirinya dan Tuhannya. Tapi, ternyata dengan hitungan kasar saya (tanpa melewati penelitian yang lebih komprehensif), lebih banyak bujangan ketimbang gadis yang tidak mau terlihat rapuh di depan lawan bicaranya.


Salah satu letak masalah ada pada efek terhadap kesehatan mental dari personal itu sendiri. Ketika emosi-emosi yang sedang membuncah tidak tersalurkan, maka sudah menjadi niscaya emosi itu akan menumpuk hingga suatu saat akan meledak dan sangat sulit untuk dikontrol. Depresi hingga gangguan psikis seperti bipolar yang bukan tidak mungkin akan dialami oleh orang-orang yang sedang mencicil gondok batin dalam dirinya sendiri.


Tapi, itu pun bukan menjadi masalah tunggal, selalu ada api dari asap yang mengepul. Masalah ketidakterbukaan lelaki pada lawan bicaranya bukan masalah yang tiba-tiba muncul begitu saja. Bila diurut, memang ada beberapa faktor, tapi salah satu yang telah saya sadari adalah budaya maskulinitas lelaki yang pantang terlihat rapuh yang tentu berimbas pada kerangka kepribadian dan standar harga diri laki-laki itu sendiri.

Kehidupan sosial kita sering menggaungkan bahwa laki-laki itu harus terlihat kuat, tidak boleh lemah. Sebetulnya sah-sah saja kalau mau menyebut laki-laki harus kuat. Tapi, kita pun harus bersikap fair. Laki-laki tetaplah manusia. 

Manusia tidak diciptakan untuk stagnan dalam kuat. Manusia itu dinamis. Manusia bisa kuat, bisa pula lemah. Manusia bisa bersuka dan bisa pula berduka. Ada air mata yang diciptakan untuk dikeluarkan. Itu yang perlu disadari oleh kita semua. Kita perlu memanusiakan lelaki pada tempatnya.

Bila banyak penelitian mengatakan, fisik lelaki lebih kuat dibandingkan wanita, maka jangan menyimpulkan bahwa lelaki itu tidak boleh lemah, rapuh, ataupun sakit. Kerapuhan dan kelemahan adalah hal yang sangat manusiawi.

Bahkan Rasulullah, seorang laki-laki utusan Tuhan sendiri  pun pernah betul-betul terpukul di tahun kesedihannya, ketika Beliau ditinggalkan mati oleh paman dan istrinya Khadijah yang menyokong hidupnya baik secara moril maupun materil. Dengan begitu, bertanyalah. Apakah dengan kelaki-lakiannya Rasul menjadikannya haram untuk bersedih ketika  Ia terpuruk? Bukankah bersedih itu sangat sah dan sangat alamiah.


Bila budaya kita mampu mendudukkan bagaimana fitrah lelaki pada tempatnya, maka standar dan harga diri dari para bujangan ini tidak akan sekonyong-konyong menempatkan keterpurukannya sebagai kelemahan. 

Justru yang mesti kita tanamkan pada laki-laki kita, keterpurukan itulah yang menandakan bahwa mereka pun manusia, keterpurukan lah yang menguatkan mereka untuk bangkit dan bergerak. Keterperukan tidak perlu disangkal, justru harus diikmati sebagai perjuangan proses untuk memanusiakan seorang manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline