Berbicara Investasi banyak sekali instrument yang menjanjikan, salah satu nya adalah sukuk ini. Dimana umat manusia menginginkan berinvestasi dengan profit yang cukup serta keberkahan di dalam nya. sukuk merupakan salah satu efek yang diperdagangkan di pasar modal saat ini. Baik di dunia international maupun di tingkat nasional. Instrumen keuangan ini tumbuh pesat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan instrumen keuangan konvensional lainnya.[1]
Salah satu instrumen keuangan Islam[2] yang tengah berkembang pesat saat ini adalah sukuk. Sukuk pada hakikatnya merupakan sertifikat kepemilikan atas suatu aset (proyek riil) yang dapat digunakan dalam skala besar untuk membiayai pembangunan. Sukuk dipandang sebagai alternatif yang lebih baik daripada berutang karena antara lain mengandung unsur kerja sama investasi, berbagi risiko dan keterlibatan aset (proyek riil) yang juga mendasari penerbitan sukuk.
Menurut Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro dalamopening remarks pada acara 1st Annual Islamic Conference ‘Sukuk for Infrastructure Financing and Financial Inclusion Strategy’yang diselenggarakan di Jakarta Convention Center, Jakarta pada Selasa (17/05). Seperti diketahui, industri keuangan syariah di pasar global tengah mengalami pertumbuhan pesat, yang ditandai dengan peningkatan jumlah aset secara signifikan setiap tahunnya. Pada akhir tahun 2014, industri keuangan syariah global mencatatkan total aset sekitar 2,1 triliun dolar AS, dengan pertumbuhan rata-rata setiap tahun selama 2009-2014 sebesar 17,3 persen.
Dari jumlah tersebut, lanjut Menkeu, perbankan syariah dan sukuk mendominasi total aset industri keuangan syariah global, dengan kontribusi masing-masing sebesar 80 persen dan 15 persen. “Pada akhir tahun 2014, total aset perbankan syariah diperkirakan mencapai 1,7 triliun dolar AS, dengan CAGR (compound annual growth rate) sebesar 14 persen selama periode 2009-2014. Sementara, outstanding sukuk pada akhir 2014 mencapai sekitar 300 miliar dolar AS,” urainya
Faktor utama yang melatarbelakangi hadirnya sukuk sebagai salah satu instrumen dalam sistem keuangan Islam adalah ketentuan al-Quran dan al-Sunnah yang melarang riba,maysir, gharar, bertransaksi dengan kegiatan atau produk haram, serta terbebas dari unsur tadlis. Terdapat sejumlah ayat ekonomi dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang larangan riba. Turunnya ayat mengenai riba dalam Al-Qur'an secara bertahap, yaitu dalam empat tahap.[3] yang terdiri dari 8 ayat dalam 4 surat (al-Baqarah (2) = 5 ayat, Ali ‘Imran (3) = 1 ayat, al-Nisa’ (4) = 1 ayat, al-Rum = 1 ayat). Satu ayat diturunkan di Mekah dan selebihnya di Madinah. Gaya pengharaman riba dalam al-Quran adalah mirip dengan bentuk pengharaman khamr dalam al-Quran[4] yaitu tidak mengharamkan secara sekaligus tetapi berangsur-angsur. Bahkan dalam hadis pun juga terdapat kesamaan dalam hal dosa dari dua perbuatan dosa tersebut yaitu mendapat laknat dari Allah SWT.
Di Indonesia payung hukum yang menjadi landasan penerbitan obligasi sukuk, adalah UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah. Menurut perkembangan, pencarian format landasan hukum penerbitan payung hukum tentang surat berharga syariah ini, sesunggunya telah mulai proses panjang, yaitu sejak tahun 2003 ketika Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menyuarakan penerbitan sukuk untuk menangkap peluang investasi sekaligus perkembangan perekonomian syariah di Indonesia. DSN-MUI juga telah melontarkan ide amandemen Undang-Undang Nomor 2002 tentang Surat Utang Negara tetapi ide ini juga kandas. Pada tahun 2005, DSN-MUI kembali mengajukan usulan agar pemerintah segera mengeluarkan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah, usaha tersebut telah berhasil dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 19 tahun 2008 tersebut.
DR. Hussein Syahattah menjelaskan karakteristik sukuk dengan :
Satuan unit investasi pokok modal sukuk mempunyai nilai yang rata dan sama, jumlah sukuk yang dimiliki investor menggambarkan persentase kepemilikan dan haknya terhadap bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) dari aset suatu proyek yang sedang berlangsung.
Aset yang dijadikan dasar sukuk dapat berwujud aset tetap, aset yang beredar, atau hak-hak maknawiyah, dan sebagainya.
Peredaran sukuk harus melalui perantaraan sistem dan proses yang diperbolehkan secara syar’i dan juga undang-undang. Di mana investor (pemegang sukuk) mempunyai hak untuk memindahkan kepemilikan, menggadaikan, menghibahkan, dan transaksi keuangan melalui perusahaan perantara atau badan lainnya yang mendapatkan izin sesuai undang-undang yang berlaku.
Sukuk Islami mempunyai sifat dasar keterlibatan yang sama dala keuntungan dan kerugian, sebagaimana dalam saham.[5]