Lihat ke Halaman Asli

Reni Tampang

Mahasiswi

Tak Semua Anak Pertama Memiliki Bahu Baja

Diperbarui: 6 Februari 2022   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 "Bahu anak pertama itu harus kuat", "Anak pertama itu harus bisa jadi contoh yang baik bagi adik-adiknya", "Anak pertama itu harus bisa sukses untuk bantu orang tua", "Anak pertama itu harus bisa ngalah sama adik-adiknya", kalimat yang pasti sudah sering kita dengar. 

Betapa besarnya harapan orang tua ke anak, mendorong mereka untuk memberikan tuntutan lebih kepada anak pertama untuk menjadi leader bagi saudara-saudaranya. 

Dalam pandangan orang tua, jika anak pertama berhasil meninggalkan jejak yang baik, maka adik-adik mereka pun akan mengikutinya. Bahkan sebelum adik mereka lahir, patokan itu sudah ditaruh di atas bahu mereka. 

Patok yang bahkan bukan seperti benda mati, serasa semakin besar dan semakin berat untuk mereka pikul. Lalu bagaimana dengan mereka yang bahunya tak mampu untuk bisa sekuat baja?

Memikul tuntutan seorang diri bukanlah sesuatu hal yang bisa dilakukan oleh semua anak pertama. Selain harus jadi dewasa sebelum waktunya, mereka juga dituntut untuk bisa menjadi tulang punggung keluarga. 

Untuk bisa perfect dalam hal itu, mereka dituntut untuk selalu punya prestasi gemilang.  Dalam kesemua itu, tak jarang mereka mendapat perilaku over-protective dari orang tua mereka. Bahkan lama-kelamaan orang tua bisa bersikap mengekang apapun yang menjadi kehidupan si anak tersebut. 

Bagi sebagian orang tua, rasa-rasanya tidak ada hal pribadi yang perlu divalidasi lagi, karena itu adalah anak mereka sendiri, dan mereka berhak mengatur apa yang dianggap mereka baik. Tak memperdulikan perasaan dari sang anak, sang anak dipaksa untuk bisa menguatkan keluarga. Dengan segala paksaan yang ditetapkan, orang tua bak memasang topeng bagi sang anak yang membuat mereka terlihat sebagai anak yang kuat. Tanpa menyadari, pola asuh yang seperti ini sangatlah toxic. Hal selumbar kertas mereka perhatikan, namun hal sebesar balok tak mereka sadari. 

Pola asuh yang salahlah yang pada akhirya mempengaruhi emosi sang anak yang mereka jadikan respon dari setiap tuntutan yang ada. Beberapa dari anak pertama mungkin saja tidak menyadari hal ini sehingga mereka merasa mungkin apa yang dilakukan orang tua mereka adalah hal yang wajar. Atau pun bahkan masih ada beberapa dari mereka yang butuh waktu puluhan tahun untuk mendekonstruksi situasi yang ada.

Bagi beberapa anak pertama, tuntutan yang diberikan kepada terkadang terasa seperti sesuatu hal yang tak manusiawi juga tak masuk akal. Rasanya mereka seperti tumbuh bak sebuah robot yang diatur untuk bisa melakukan sesuatu. Tanpa mengetahui batas kemampuan mereka, mereka didorong untuk bisa sempurna dalam memenuhi harapan besar yang sudah di tanam untuk mereka. 

Harapan yang semakin besar ini bahkan terkadang tak bisa dibagi dua atau di bagi tiga untuk bisa dibagikan kepada adik-adik mereka. Tak adil? Diskriminatif? Ya, itu sudah hal yang biasa bagi mereka. Bahkan kesempatan untuk bisa sedikit menegakkan bahu saja sepertinya tidak tersedia bagi mereka. Jadi, mau atau tidak, terseok-seok adalah pilihan terakhir mereka yang bisa dilakukan untuk menjunjung harapan orang tuanya.

Menjadi dewasa dan berpikiran terbuka memang hal yang baik, tapi itu jadi bermasalah ketika orang tua hanya membebankannya kepada anak pertama tanpa tau seberapa berat tuntutan itu bagi mereka. Tak ada ruginya bagi orang tua ketika harus sedikit memperhatikan anak pertama mereka dalam hal kemampuan dan keterbatasan yang mereka miliki. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline