Lihat ke Halaman Asli

Frater Milenial (ReSuPaG)

Seseorang yang suka belajar tentang berbagai hal

Politik dalam Ranah Kefilsafatan

Diperbarui: 21 Oktober 2021   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bonum Commune (Dok.Pri)

          Politik adalah sistem tatanan agung yang mengelola hidup manusia ke hal yang baik dan menata hidup manusia menuju arah Bonum Commune. Namun, politik sering disalahartikan sebagai kelicikan untuk memanfaatkan dan memanipulasi segala keadaan dengan segala cara untuk mencapai tujuan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Menghalalkan cara dalah salah satu bentuk dari tatanan agung yang semestinya politik menjadi merosot atau rusak. Aktivitas dari politik itu merupakan untuk menata hidup bersama secara bertanggungjawab demi kebaikan manusia, baik sebagai kelompok maupun pribadi.

Politik memiliki cakupan kedalam hidup manusia, karena didalam politik itu, diungkapkan kebudayaan, hidup religius, dan sebagainya. Politik masuk dalam sikap reduksif. Sikap reduksif adalah sebuah pendangkalan makna. Apabila reduksif masuk ke dalam saintifikasi, maka saintifikasi itu semestinya menggunakan rasionalitas dan sikap ilmiah.

Filsafat Politik mengenal sistem metodologi. Metodologi adalah bukan sekedar cara-cara untuk mengejar tujuan, melainkan koridor rasional yang semestinya para politikus untuk memperjuangkan partisipasinya. Metodologi juga tidak tercurah hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok, melainkan untuk melukiskan elegansi peradaban manusia itu sendiri. Maka, metode berfilsafat politik adalah menguraikan sketsa-sketsa fenomenologi dan keseharian-keseharian hidup manusia.

Filsafat Politik bertujuan untuk membahas politik secara sistematis, logis dan menyeluruh. Bagi Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan relasi manusia dan negara. Manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik, negara pun baik dan apabila manusia buruk, negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan manusia yang menjadi warganya.

1. Negara Ideal Plato bersifat Idealis-Utopis

Dalam bukunya yang berjudul The Republic, bagi Plato, negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan. Setiap warganya berfungsi sebagaimana mestinya dalam upaya merealisasikan negara ideal itu. Agar warga negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya, pendidikan harus diatur oleh negara, karena pendidikan merupakan hal yang terpenting. Agar negara ideal itu dapat terwujud nyata, yang patut menjadi raja ialah mereka yang mempelajari filsafat. Raja haruslah seorang filsuf, atau hanya filsuflah yang layak untuk menjadi raja.

Bagi Plato, filsuflah yang harus menjadi raja, karena hanya filsuflah yang benar-benar mengenal ide-ide. Dengan demikian ia pun tahu tentang kebajikan, kebaikan dan keadilan, sehingga pemerintahannya tidak akan mengarah pada kejahatan dan ketidak-adilan. Karena filsuflah yang dianggap memiliki pengetahuan yang sesungguhnya. Plato mengatakan bahwa "pengetahuan adalah kekuasaan", maka hanya filsuflah yang layak memerintah.

Guna mewujudkan negara ideal, Plato membagi struktur sosial sebuah negara menjadi tiga golongan: Pertama, Golongan Para Wali, mereka diberi amanah untuk memerintah negara, karena mereka mempunyai pengertian tentang "yang baik" sehingga akan lebih arif dalam memimpin negara. Kedua, Golongan Ksatria atau Prajurit, mereka ini sebagai penjaga keamanan negara yang mengawasi warga negara, agar selalu tunduk terhadap pemimpin negara. Ketiga, Golongan Rakyat Biasa, mereka ini adalah para petani, yang menanggung seluruh kehidupan ekonomi bagi seluruh polis.

Dalam karya The Republic, Plato menyatakan bahwa tujuan sebuah kekuasaan adalah untuk menciptakan suatu rezim yang stabil, yang disinari oleh kebenaran dan ilmu pengetahuan, maka penguasa yang ideal adalah filsuf. Negara khayalan atau idaman sebagaimana diangankan Plato tersebut sebagai negara dengan sistem politik sipil utopis atau politik sipil.

Pembagian golongan yang dilakukan Plato bukanlah untuk menciptakan diskriminasi golongan yang akan menimbulkan keretakan dan perpecahan yang akhirnya akan membut negara itu hancur. Negara ideal Plato adalah negara yang justru harus senantiasa menjaga keutuhannya dan harus senantiasa beerusaha memelihara kesatuannya. Cita-cita Plato yang luhur adalah agar setiap warga negara dari negara ideal memperoleh kesempatan yang sama untuk menunaikan tugas panggilannya dalam hidup bernegara, yang sesuai dengan bakat, kecakapan, kemampuan, keterampilan, keperkasaan, dan kesanggupan intelektual serta pengalamannya.

2. Negara menurut Aristoteles bersifat Empiris-Realis

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline