Awal saya menanggapi Panggilan Tuhan disaat saya duduk di kelas 5 SD. Ketertarikan saya untuk menjadi sosok imam ketika seorang imam memimpin Perayaan Ekaristi di Stasi saya di Gereja Katolik St.Yohanes Rasul. Melihat penampilan dan kewibawaannya saya menjadi terinspirasi untuk menjadi seperti dia (seorang imam).
Ketika saya mengatakan mau seperti imam kepada Orangtua, mereka merasa kaget akan perkataan saya itu. Melihat rauk muka mereka, mereka kurang percaya terdahap saya. Mereka hanya bicara bahwa " kalau ingin mau menjadi imam harus rajin belajar, sering berdoa dan sering pergi ke gereja". Inilah syarat yang diberikan oleh orangtua kepada saya apabila ingin menjadi seorang imam.
Dikala itu, saya sangat senang mendengar jawaban dari orangtua walaupun mereka tidak secara langsung menyakininya juga. Dihari esoknya, saya memberitahukan kepada Paman bahwa saya ingin menjadi imam. Paman langsung menjawab dengan nada senang dan bahagia akan kata-kata saya dan ia pun segera memberikan saya doa-doa dasar katolik yang harus saya hafal, sebab syarat utama menjadi imam itu harus tahu doa-doa dasar katolik yakni Syahadat, Bapa kami, Salam Maria, Kemuliaan dan doa-doa lainnya.
Disaat saya mulai melanjutkan sekolah di SMP, panggilan ingin menjadi seorang imam sudah tidak ada lagi. Panggilan Tuhan sudah tidak terdengar dari dalam hati. Saya mulai terinspirasi menjadi seorang tentara, karena selama SMP, saya sering menghabiskan waktu untuk bermain perang-perangan dengan teman-teman. Walaupun saya sangat rutin pergi ke gereja bahkan dalam seminggu kadang ada 4 kali ke gereja, baik itu sepulang sekolah maupun jadwal yang diumumkan oleh Ketua Dewan stasi. Itupun tidak membuat saya untuk semakin tertarik menjadi imam lagi.
Setelah tamat mengikuti pendidikan di SMP, saya bingung hendak lanjut kemana, apakah di kampung atau keluar kota. Satu minggu setelah Ujian Nasional (UN) Paman datang ke rumah dan ia kembali menanyakan apakah saya masih tetap mau menadi imam atau tidak. Saya menjadi bimbang mau bilang apa kepada Paman dan Orangtua.
Melihat orangtua yang tetap masih diam membisu dengan nada pelan saya menjawab "YA" mau menjadi imam. Mendengar keputusan ini orangtua sangat bahagia akan pilihan saya, sehingga membuat mereka mengeluarkan air mata karena kebahagiaan. Saat ini, orangtua tidak meragukan saya lagi akan pilihan ini, sebab kini saatnya saya akan melanjutkan sekolah di Seminari Menengah-Sibolga.
Beberapa hari kemudian, Paman membawa saya ke Seminari Menengah St. Petrus, Aektolang- Sibolga untuk mengikuti tes. Pertama saya menginjakkan kaki di Seminari Menengah saya berkata dalam hati bahwa saya pasti bisa tinggal disini. Selama 3 hari di Seminari saya mengikuti beberapa tes yang dipandu oleh seorang Frater OSC. Tes yang saya ikuti ialah Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Agama, IQ, EQ dan Wawancara.
Dalam 3 hari itu, saya tidak merasa nyaman, sebab teman berbicara atau mengobrol tidak ada. Selama disitu saya selalu sendirian tanpa seorang pun teman yang bisa diajak bicara. Tahun pertama di seminari saya duduk di kelas Gramatica. Sekitar tiga minggu saya mulai krasan. Banyak teman-teman yang suka diajak bicara bahkan bermain-main. Di tahun pertama ini banyak suka-duka yang saya alami. Di tahun kedua kelas Syntaxis, hidup panggilan saya hanya begitu-begitu saja tidak ada perkembangan. Saya hanya mengikuti aturan seperti mana layaknya tinggal di Asrama. Selama tahun ini saya tidak mengalami panggilan Tuhan dalam diri. Semuanya berjalan begitu saja tanpa makna.
Di tahun ketiga, melihat perkembangan pribadi saya yang sudah mulai dewasa, banyak pergulatan-pergulatan yang saya alami dalam memenuhi panggilan Tuhan, baik itu soal lawan jenis maupun pergaulan diluar Seminari. Dengan kecerobohan hati saya ingin meninggalkan panggilan Tuhan, karena pergaulan dengan lawan jenis. Saya masih belum mempertimbangkannya secara sehat dan matang. Keputusan ini muncul secara mendadak dari pikiran demi untuk si dia.
Dikala itu, saya mencoba memberitahukan kepada orangtua bahwa saya ingin keluar dari Seminari dengan berbagai macam alasan. Soal lawan jenis saya tidak memberitahukannya. Setelah saya menyampaikan keputusan saya ini kepada orangtua melalui hp, mama merasa sedih bahkan menangis.
Mama pun bingung mau bilang apa, dia hanya berkata bahwa "dulu kamu yang bilang mau menjadi imam, sekarang kamu mau keluar dari Seminari", selesaikanlah belajarmu di situ, setelah itu terserah kamu mau lanjut kemana. Disaat saya mendengar ucapan dari mama dengan nada suara lemah, saya mulai kembali merenungkan akan panggilan yang jalani, mencoba untuk mendengar suara hati, apakah saya benar-benar mau menjadi imam atau tidak.