Lihat ke Halaman Asli

Pena ReSuPaG

"Jangan pernah ragu meniru penulis lain. Setiap seniman yang tengah mengasah keterampilannya membutuhkan model. Pada akhirnya, Anda akan menemukan gaya sendiri dan menanggalkan kulit penulis yang Anda tiru" (William Zinsser)

Halangan Nikah: "Impotensi" (KHK 1983, Kan. 1084)

Diperbarui: 15 Februari 2022   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pemberkatan Perkawinan

                     Halangan impotensi memiliki hubungan erat dengan halangan umur. Pencapaian umur pubertas atau kematangan biologis biasanya membawa-serta kemampuan untuk melakukan hubungan seksual khas antara suami dan istri yang mengungkapkan dan mewujudkan tujuan khas perkawinan itu, yakni kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri. Akan tetapi, pada orang-orang tertentu, kemampuan untuk melakukan hubungan suami-istri secara natural itu bisa jadi tidak ada, sekalipun mereka telah mencapai umur pubertas.

         Ketidakmampuan dalam melakukan hubungan seksual antara suami dan istri pada umumnya disebut dengan impotensi. Dalam Hukum Gereja Katolik, impotensi dikaitkan langsung dengan konsumasi dan non-konsumasi perkawinan. Sebab itu, penafsiran kanonik yang tepat mengenai norma halangan impotensi menentukan aplikasi yang tepat dalam memutus ikatan perkawinan atas dasar perkawinan yang non-konsumasi (Kan. 1142; 1697-1706). Halangan impotensi ini ditetapkan bertujuan untuk supaya pasangan antara suami dan istri dapat saling mengonsumasi perkawinannya yang telah mereka teguhkan.

         Mendefinisikan im-potensi sama halnya dengan mendenisikan relasi seksual yang sempurna yang mengonsumasi perkawinan tersebut. Impotensi didenisikan dari apa yang harus ada, supaya terjadi relasi seksual khas antara suami dan istri. Maka, yang dimaksud dengan impotensi adalah ketidakmampuan untuk melakukan relasi khas antara suami dan istri, yang menurut hakikat dan tujuannya mengonsumasi perkawinan itu sendiri. Konsumasi terjadi bukan sekadar melalui perjumpaan organ-organ seksual suami dan istri, tetapi perjumpaan antara organ seksual yang mencukupi dan layak untuk kelahiran anak, sekurang-kurangnya secara potensial.

         Mendenisikan struktur natural mengkualikasikan hubungan seksual sebagai hubungan khas antara suami dan istri yang mengonsumasi perkawinan, merupakan persoalan yang menyangkut hukum ilahi kodrati. Oleh karena itu, permasalahan ini merupakan wewenang eksklusif otoritas tertinggi Gereja, yang berwenang untuk menyatakan secara autentik bahwa kapan hukum ilahi melarang atau menggagalkan perkawinan itu sendiri (bdk. Kan. 1075, 1).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline