Lihat ke Halaman Asli

Pena ReSuPaG

"Jangan pernah ragu meniru penulis lain. Setiap seniman yang tengah mengasah keterampilannya membutuhkan model. Pada akhirnya, Anda akan menemukan gaya sendiri dan menanggalkan kulit penulis yang Anda tiru" (William Zinsser)

Refleksi Tahun Orientasi Pastoral

Diperbarui: 30 Januari 2022   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemberkatan Paroki Gid

1.  Pendahuluan

          Pada dasarnya arti dan tujuan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) termaktup dalam suatu kurun waktu tertentu selama pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT), di Pematangsiantar. Seorang TOPer diberi kesempatan untuk menguji diri dan diuji dalam hal motivasi panggilan. Selain itu, juga dengan hidup rohani, ketangguhan kepribadian, serta untuk mengembangkan minat, keterampilan dasar pastoral dan cinta kasih kegembalaan secara konkret. 

Hal ini dapat terwujud dalam bentuk pergaulan, bekerjasama dengan orang-orang, kemampuan dalam memimpin atau mengorganisir suatu kelompok dan dapat mengalami kegembiraan sekalipun dalam kesulitan berpastoral. Melalui semuanya itu, seorang TOPer diharapkan sanggup mengolah pengalaman dan menemukan gambaran konkret mengenai tugas Gereja serta merumuskan konsep-konsep yang baru dalam praktek dan refleksi kehidupan.

2.  Tempat Tahun Orientasi Pastoral (TOP)

          Setelah saya menerima SK dari Sekretaris Jenderal (SekJen), saya di tempatkan di Paroki Kristus Raja-Gid, Dekanat Nias untuk menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) selama 10 bulan yang terhitung mulai tanggal 25 Agustus sampai 31 Juli 2020. Gid merupakan ibu kota  dari Kabupaten Nias dan pemekaran dari Kabupaten Gunungsitoli. Untuk sampai ke Paroki Kristus Raja-Gid, saya mesti menyeberang dengan menaiki kapal laut dari pelabuhan Sibolga ke pelabuhan Gunungsitoli. Saya bersama dengan Mgr. Anicetus B. Sinaga, DAO. P. Sebastian Sihombing, OFMcap dan Fr. Erik Laia dijemput dari pelabuhan Gunungsitoli menuju ke Paroki Santa Maria, Gunungsitoli. Paroki ini adalah tempat transit bagi setiap kaum berjubah apabila bepergian ke Pulau Nias. Dari Paroki ini, saya melanjutkan perjalanan menuju tempat TOP. Saya dijemput oleh P. Alfons Ampu, Pr sebagai Pastor paroki di mana saya akan menjalani masa TOP. Lokasi Paroki Kristus Raja-Gid adalah Desa Hiliweto, Jl. Pastoran Katolik No. 2. Di tempat ini terdapat Susteran OSF dan Panti Asuhan St. Antonius Kinderdorf.

          Paroki Kristus Raja-Gid membawahi 38 stasi yang berada dan tersebar di Kabupaten Nias dan Kabupaten Kota Gunungsitoli. Selama beberapa bulan di Paroki, kurang lebih 15 stasi yang sudah saya kunjungi. Disaat berkunjung ke stasi ada yang bisa dilalui dengan kendaraan dan ada yang tidak, harus berjalan kaki. Jarak tempu dari paroki menuju stasi tidak menentu dan tergantung stasi yang akan dikunjungi. Ada stasi yang jarak tempuhnya 20-30 menit dan ada juga yang seminimalnya 2-3 jam dalam perjalanan. Hal ini tergantung medan perjalanan, karena ada yang bisa dilalui dengan kendaraan dan ada yang jalan kaki. Walaupun demikian, saya tetap semangat dan kuat untuk membawa dan memperkenalkan Kristus kepada semua orang.

3.  Gambaran Situasi Tempat Top

          Kurang lebih 6 bulan saya menjalani masa TOP di Paroki Kristus Raja-Gid, ada beberapa hal yang membuat saya kaget dan terkejut yaitu soal kepercayaan dan kehormatan orang Nias. Pertama, berbicara soal suku dan bahasa. Di daerah ini ada beberapa orang dari suku berbeda, seperti Batak Toba, Karo dan Minang, namun jumlahnya sangat sedikit. Dalam bahasa sehari-sehari umumya mereka menggunakan bahasa Nias, walaupun demikian mereka juga mengerti berbahasa Indonesia, kecuali mereka yang sudah lanjut usia. Sementara berbicara soal kepercayaan/agama. Di daerah ini sangat beragam, ada yang beragama Katolik, Protestan bersama aliran-alirannya dan Islam.

         Kedua, berbicara soal penghormatan. Bagi suku Nias, hewan babi adalah tanda penghormatan kepada orang lain, yang disebut dengan simbi. Simbi merupakan tanda penghormatan dalam adat Nias yang potongannya mesti diatur sedemikian rupa yang sesuai dengan pribadi yang dihormati. Yang menjadi keterkejutan saya sekaligus menjadi pertanyaan adalah bagaiman dengan orang Nias yang beragama Islam. Apakah mereka tidak ber-adat, karena tidak memakan daging hewan babi sebagai adat suku Nias?

        Selain simbi, orang Nias juga menunjukkan rasa hormatnya terhadap sesama. Salah satu ciri yang kelihatan adalah sikap saling tegur sapa dengan kata "Ya, ahowu" dan memberikan sirih dengan istilah "Afo". Sejauh yang saya alami, ketika saya masuk ke sebuah rumah maupun gereja, saya mesti menyalami mereka atau setidaknya yang bisa dijangkau sambil berkata "Ya, ahowu".

4.  Karya-Karya Pastoral dan Tugas Orientasi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline