Dewasa ini yang serba instan karena disrupsi digital serta membludakya informasi dari berbagai sumber, maka posisi sentral seorang guru memiliki peran penting sebagai penyaring dan penyampai pengetahuan kepada para siswa. Namun, bagaimana jika guru sendiri terjebak dalam perangkap informasi palsu? Esai ini akan membahas fenomena tersebut dan memberikan solusi untuk mengatasinya.
Guru dan Kerentanan Terhadap Informasi Palsu
Meskipun guru diharapkan menjadi sumber informasi yang terpercaya, mereka tidak kebal terhadap fenomena informasi palsu atau hoax. Penelitian menunjukkan bahwa guru, seperti individu lainnya, dapat menjadi korban dari penyebaran informasi yang tidak akurat.
Menurut studi yang dilakukan oleh (Kahne dan Bowyer, 2017), kemampuan seseorang untuk mengevaluasi kredibilitas informasi online tidak selalu berkorelasi dengan tingkat pendidikan formal. Bahkan individu dengan latar belakang pendidikan tinggi pun dapat terjebak dalam perangkap informasi palsu jika informasi tersebut sejalan dengan keyakinan atau pandangan politik mereka.
Lebih lanjut, penelitian dari (Herrero-Diz et al, 2019) mengungkapkan bahwa guru seringkali merasa kewalahan dengan jumlah informasi yang tersedia online dan kesulitan dalam memverifikasi keakuratan setiap informasi yang mereka terima. Hal ini dapat menyebabkan mereka tanpa sadar menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kepada siswa mereka.
Dampak Informasi Palsu Dalam Proses Pembelajaran
Ketika guru menyebarkan informasi palsu, dampaknya bisa sangat signifikan terhadap proses pembelajaran dan perkembangan siswa.
Penelitian yang dilakukan oleh (Pennycook dan Rand, 2019) menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap informasi palsu dapat meningkatkan persepsi kebenaran terhadap informasi tersebut, fenomena yang dikenal sebagai "ilusi kebenaran". Dalam konteks pendidikan, ini berarti siswa yang berulang kali menerima informasi palsu dari guru mereka mungkin akan mempercayai informasi tersebut sebagai kebenaran, bahkan ketika dihadapkan dengan bukti yang bertentangan.
Selain itu, (Bullock, 2019) dalam penelitiannya menemukan bahwa informasi palsu dapat menghambat pemikiran kritis dan keterampilan analisis siswa. Ketika siswa terbiasa menerima informasi tanpa mempertanyakan kebenarannya, mereka mungkin kehilangan kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara kritis di masa depan.
Strategi Melawan Informasi Palsu Dalam Dunia Pendidikan Transformatif
Untungnya, ada beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk melawan penyebaran informasi palsu dalam dunia pendidikan.
- Literasi Media dan Informasi: (McGrew et al, 2018) menekankan pentingnya mengintegrasikan literasi media dan informasi ke dalam kurikulum pendidikan guru. Dengan meningkatkan kemampuan guru untuk mengevaluasi kredibilitas sumber informasi, mereka akan lebih siap untuk mengajarkan keterampilan serupa kepada siswa mereka.
- Pemikiran Kritis dan Verifikasi Fakta: (Wineburg dan McGrew, 2019) mengusulkan pendekatan "lateral reading" di mana pembaca diajarkan untuk membandingkan informasi dari berbagai sumber sebelum menarik kesimpulan. Guru dapat menerapkan dan mengajarkan metode ini untuk memverifikasi keakuratan informasi.
- Kolaborasi dan Komunitas Pembelajaran: Penelitian dari (Metzger et al., 2021) menunjukkan bahwa pendekatan kolaboratif dalam mengevaluasi informasi dapat meningkatkan akurasi penilaian. Guru dapat membentuk komunitas pembelajaran profesional untuk saling berbagi dan memverifikasi informasi.
- Serta bijak sebagai user kecerdasan buatan artificial inteligent yang saat ini mulai merasakan sensasi "so easy" dalam hak akses dan hak menciptakan sesuatu. Namun tetap didasarkan pada nilai-nilai humanis.
Apa yang dianalisis dan ditulis oleh Penulis masih dalam tahap pencarian dan perlu adanya pembedahan pengetahuan yang lebih dalam, serta tentunya mengikuti dialektika zaman.
Dengan menerapkan strategi-strategi seperti ini, secara hipotesis posisi guru sebagai "centre transfer of knowledge" tidak hanya dapat melindungi diri mereka sendiri dari informasi palsu, namun juga dapat memberdayakan para peserta didik atau siswanya dengan keterampilan memilah dan memilih (filterisasi) yang diperlukan untuk menjadi bahan konsumsi informasi yang logis, kritis dan dapat dipertanggung jawabkan di era digital saat ini.