Lihat ke Halaman Asli

Rengga Yudha Santoso

Lecturer and Writer from STKIP PGRI NGANJUK

Penyiksaan di Balik Jeruji, Kasus Pegi Setiawan dan Prinsip Praduga Tak Bersalah

Diperbarui: 10 Juli 2024   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi interogasi pegi setiawan. Sumber gambar: bing image creator

Tulisan ini sebagai respon penulis terhadap kasus yang diduga adanya tindakan penyiksaan oleh oknum penegak hukum di Polda Jabar.

Kasus Pegi Setiawan memang menjadi sorotan publik dan membuka kembali diskusi penting tentang sistem peradilan pidana di Indonesia. Beberapa poin kunci yang dapat dianalisis dari perspektif kriminologi:

  1. Praduga tak bersalah: Prinsip ini merupakan fondasi penting dalam sistem hukum, namun penerapannya masih sering dipertanyakan. Kasus Pegi menunjukkan bahwa ada potensi pelanggaran terhadap asas ini selama proses penyelidikan dan penahanan.
  2. Kekerasan dalam penyidikan: Dugaan penyiksaan yang dialami Pegi selama penahanan mengindikasikan adanya praktik-praktik interogasi yang tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia. Ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan etika metode penyidikan yang digunakan.
  3. Pengakuan paksa: Jika benar terjadi penyiksaan, hal ini bisa mengakibatkan pengakuan paksa yang tidak dapat diandalkan sebagai bukti. Fenomena ini dikenal dalam kriminologi sebagai "false confession" dan dapat mengakibatkan kesalahan peradilan.
  4. Peran praperadilan: Keputusan pengadilan untuk mengabulkan praperadilan Pegi menunjukkan pentingnya mekanisme checks and balances dalam sistem peradilan pidana. Ini menjadi sarana untuk menguji keabsahan proses hukum yang telah dilakukan.
  5. Viktimologi sekunder: Pegi dapat dianggap sebagai korban dari sistem peradilan itu sendiri (victim of the criminal justice system). Hal ini mengarah pada konsep viktimisasi sekunder dalam kriminologi, di mana seseorang menjadi korban akibat respons institusi terhadap viktimisasi primer.
  6. Reformasi sistem: Kasus ini menyoroti kebutuhan akan reformasi dalam praktik penegakan hukum, termasuk peningkatan profesionalisme, pengawasan yang lebih ketat, dan penguatan mekanisme akuntabilitas.
  7. Keadilan restoratif: Pendekatan keadilan restoratif mungkin perlu dipertimbangkan untuk memulihkan kerugian yang dialami Pegi akibat penahanan yang tidak sah, serta untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
  8. Stigmatisasi: Meski telah dibebaskan, Pegi mungkin masih menghadapi stigma sosial. Ini menunjukkan pentingnya upaya dekriminalisasi dan reintegrasi sosial bagi mereka yang pernah berhadapan dengan hukum.

Analisis ini menunjukkan bahwa kasus Pegi Setiawan bukan hanya tentang individu, tetapi juga merefleksikan isu-isu sistemik dalam penegakan hukum dan peradilan pidana di Indonesia. Kasus ini dapat menjadi katalis untuk evaluasi dan perbaikan sistem demi menjamin keadilan dan perlindungan hak-hak tersangka di masa depan.

Dalam konferensi pers yang digelar setelah pembebasannya, Pegi mengungkapkan bahwa selama di penjara, dirinya kerap mendapat ancaman dan kekerasan fisik dari oknum tertentu. "Ada, semacam kata-kata kasar, banyak sekali ancaman-ancaman," kata Pegi, seperti yang dilaporkan oleh kanal YouTube Cumicumi pada Selasa (9/7/2024). Pegi juga mengungkapkan bahwa dirinya beberapa kali dipukul hingga menunjukkan bekas luka kepada kuasa hukumnya, Adnan dan Ibu Yanti.

Lebih lanjut, Pegi menyebut bahwa oknum yang melakukan penyiksaan merupakan individu yang memiliki kekuasaan di lingkungan lapas. Selain ancaman dan kekerasan fisik, ia juga sering dituding sebagai pembunuh oleh para oknum tersebut. "Mereka bilang bahwa saya pembunuh, mereka bilang saya nggak punya hati nurani," lanjutnya. Meskipun kerap diancam, Pegi memilih untuk tidak merespons karena merasa tidak bersalah.

Prinsip Praduga Tak Bersalah dan Kesetaraan di Hadapan Hukum

Asas praduga tak bersalah merupakan prinsip fundamental dalam sistem peradilan pidana, yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 28D ayat (1). Prinsip ini mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat berimplikasi serius terhadap keadilan dan integritas sistem peradilan.

Kasus Pegi Setiawan menunjukkan adanya indikasi pelanggaran terhadap prinsip ini. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana secara tegas melarang tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap tersangka. Selain itu, tindakan penyiksaan melanggar hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penganiayaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia.

Analisis Kasus dan Implikasinya

Penyiksaan yang dialami oleh Pegi tidak hanya mencederai prinsip praduga tak bersalah, tetapi juga mencerminkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Dalam situasi ini, penting bagi penegak hukum untuk mematuhi Perkap tentang juknis penegakan hukum serta menghormati hak-hak tersangka. Pengabaian terhadap prinsip-prinsip ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan menciptakan ketidakadilan yang merugikan individu yang dituduh tanpa bukti yang kuat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline