Lihat ke Halaman Asli

Rengga Yudha Santoso

Lecturer and Writer

Pancasila dan Pluralisme Spiritual: Ruang Bagi "Bertuhan Tanpa Agama" dan "Beragama Tanpa Tuhan" di Indonesia

Diperbarui: 8 Juli 2024   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Tidak Mewakili Keyakinan dan Mahzab Apapun Tentang "Bertuhan Tanpa Agama" dan "Beragama Tanpa Tuhan". Sumber gambar: Bing image creator

Disclaimer

  • Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi interpretasi filosofis dan sosiologis dari Pancasila dalam konteks keberagaman spiritual di Indonesia meskipun "sangat sensitif".
  • Pandangan yang disampaikan merupakan analisis akademis penulis dan tidak dimaksudkan untuk mendukung atau menentang baik, agama, keyakinan atau praktik spiritual tertentu.
  • Penulis menghormati keragaman hingga sensitivitas dan mengajak pembaca untuk melihatnya sebagai diskusi intelektual tentang potensi inklusivitas Pancasila sebagai filsafat bangsa dengan sifat universalitasnya, bukan sebagai seruan untuk mengubah status quo keagamaan di Indonesia.
  • Pembaca diingatkan bahwa topik ini bersifat kompleks dan dapat memunculkan berbagai interpretasi. Artikel ini tidak mewakili pandangan resmi pemerintah atau lembaga keagamaan manapun.
  • Pembaca disarankan untuk melakukan riset lebih lanjut dan berkonsultasi dengan sumber-sumber resmi terkait kebijakan keagamaan di Indonesia.
  • Bagi penulis, pengetahuan tidak didominasi, melainkan pengetahuan saling melengkapi sebagai pencarian hakikat ilmu.
  • Dipersilahkan bagi seluruh pembaca untuk tidak sepakat dengan pemikiran penulis dan dipersilahkan untuk berkomentar dengan bijak, karena penulis yakin bahwa "semakin tinggi pengetahuan dan ilmu manusia, maka semakin bijak pula dalam hal berpikir dan bertindak" (wisdom).

Sebagai pengantar, secara de facto dan de jure sudah tidak lain dan tidak bukan bahwa Indonesia, dengan keragaman etnis, budaya, dan agamanya, menghadapi tantangan besar dalam menjaga keharmonisan di tengah perbedaan yang ada. Pancasila, sebagai dasar negara (filsafat bangsa), menawarkan solusi dengan mengusung nilai-nilai yang mendukung keberagaman dan toleransi tersebut.

Bagi penulis, setelah membaca buku dari Bertrand Russell tentang "Bertuhan Tanpa Agama". Konsep Bertuhan Tanpa Agama merupakan karya paling provokatif yang dihasilkan oleh Bertrand Russell tentang sains, filsafat, dan agama, sejak awal hingga akhir masa hidupnya.

Secara nalar sadar tergerak dan merasa resah, dengan "curious" bahwa kondisinya seperti Indonesia saat ini", maka dari hal itu menjadi latar belakang penulis menulis essai atau artikel ini serta kemunculan para "agnostik" dan mesipun ada beberapa hal yang melatarbelakangi seperti bukunya Yudi Latief (2011) - Negara Paripurna dan beberapa karya yang lain.

Dengan ini maka, salah satu aspek penting dari "Pancasila adalah ketahanannya dan kemampuannya untuk mengakomodasi berbagai ekspresi spiritualitas (sifat universalitas)", termasuk bagi mereka yang tidak menganut agama formal, seperti "bertuhan tanpa agama" dan "beragama tanpa Tuhan". Artikel yang ditulis penulis akan mengulas bagaimana nilai-nilai Pancasila mendukung pluralisme spiritual di Indonesia berdasarkan literatur ilmiah yang ada, karena bagi penulis, Pancasila merupakan 5 (lima) asas yang masih menyimpan berbagai misteri yang bisa diinterpretasikan untuk menggali, menembus atau menerobos bagian-bagian paradoks hingga anomali dalam kehidupan berbangsa hingga bernegara.

Pancasila dan Pluralisme Spiritual

Ilustrasi Pancasila dan Pluralisme Spiritual. Sumber gambar: Bing image creator

Pancasila, yang terdiri dari lima sila, menekankan pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini tidak hanya relevan untuk agama-agama formal tetapi juga memberikan ruang bagi berbagai bentuk ekspresi spiritualitas. Sila pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa," menegaskan pentingnya kepercayaan kepada Tuhan namun tidak menentukan bentuk atau cara penyembahannya. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi individu untuk mendefinisikan spiritualitas mereka sendiri.

Adapun analisis Pluralisme Spiritual dalam Konteks Pancasila dapat dilihat sebagai manifestasi dari prinsip Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu). Konsep ini menegaskan bahwa keberagaman, termasuk dalam hal spiritualitas, bukanlah ancaman melainkan kekayaan bangsa Indonesia.

  1. Ketuhanan yang Inklusif: Sila pertama Pancasila tidak menyebutkan agama tertentu, melainkan menggunakan istilah "Ketuhanan". Ini dapat diinterpretasikan sebagai pengakuan terhadap berbagai bentuk kepercayaan dan spiritualitas, selama mengakui adanya kekuatan yang lebih tinggi.
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Sila kedua menekankan pada penghormatan terhadap martabat manusia. Dalam konteks pluralisme spiritual, ini berarti menghormati pilihan spiritual setiap individu.
  3. Persatuan Indonesia: Sila ketiga menekankan persatuan dalam keberagaman. Pluralisme spiritual dapat menjadi salah satu elemen pemersatu, di mana perbedaan keyakinan justru memperkaya wawasan dan pengalaman bersama.
  4. Kerakyatan: Sila keempat mendorong musyawarah dan mufakat. Dalam konteks pluralisme spiritual, ini bisa diartikan sebagai dialog antar-iman dan antar-kepercayaan untuk mencapai pemahaman bersama.
  5. Keadilan Sosial: Sila kelima menekankan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini termasuk keadilan dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Dilanjutkan dengan dasar hukum yang relevan sebagai representasi dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu sebagai berikut:

  1. UUD 1945 Pasal 29 ayat (2): "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
  2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 22: "(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016: Putusan ini mengakui keberadaan penghayat kepercayaan dan memungkinkan pencantuman kepercayaan pada kolom agama di KTP.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline