Lihat ke Halaman Asli

Rendy ZubhanRamadhani

Kepala Markom UEU

Who Cabut Status Kedaruratan Kesehatan Global Covid-19

Diperbarui: 9 Mei 2023   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia Sehat. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

WHO Cabut Status Kedaruratan Kesehatan Global

COVID-19

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencabut Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC) atau status kedaruratan kesehatan global COVID-19.
Sebetulnya, apa makna WHO mencabut kedaruratan Kesehatan global terhadap
Pandemi COVID-19 tersebut, dan bagaimana kaitannya dengan masih merebaknya
sub-varian baru Arcturus yang menyebabkan lonjakan kasus di beberapa negara
termasuk di Indonesia?
Guru Besar Mikrobiologi Prodi Farmasi Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Esa
Unggul Jakarta, Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed., Apt., menjelaskan bahwa
sekalipun WHO telah mencabut status kedaruratan Kesehatan COVID-19 secara
global, namun kita harus tetap waspada dan berhati-hati. Sebab kasus COVID-19 di
dunia masih tetap ada, hanya tingkat kedaruratan medis nya saja yang telah dicabut
oleh WHO.
"Pencabutan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh WHO
bukan untuk menurunkan kewaspadaan kita terhadap ancaman bahaya dari virus
SARS-COV-2 penyebab COVID-19. Kita harus tetap mengantisipasi munculnya
lonjakan kasus baru karena wabah COVID-19 belum sepenyuhnya dinyatakan usai.
Apalagi saat ini masih merebak sub-varian baru Omicron XBB 1-16 yang dikenal
dengan Arcturus, termasuk di Indonesia. Apalagi WHO telah menyatakan bahwa sub-
varian XBB 1.16 atau Arcturus sudah dinaikkan statusnya dari variant of monitoring
menjadi variant of interest, artinya lebih mengkhawatirkan". Jadi bukan berarti bahwa
wabah COVID-19 telah berakhir", ujarnya.
Lantas bagaimana seharusnya pemerintah menyikapinya?
Menjawab pertanyaan tentang bagaimana sebaiknya Pemerintah Indonesia
menindaklanjuti pernyataan WHO tentang pencabutan keadaan kedaruratan medis
COVID-19 secara global ini, Prof. Maksum mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia
sayogyanya menikapinya dengan bijak. Meskipun status darurat COVID-19 telah
dicabut, pemerintah harus terus melakukan tindakan mitigasi yaitu deteksi dini dan
tetap melakukan penanganan kasus COVID-19 dengan sebaik-baiknya. Karena WHO
tidak mengumumkan akhir pandemi COVID-19, sehingga risiko wabah COVID-19 akan
tetap masih ada.
"Saya yakin bahwa pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk masa
transisi dari pandemi ke fase endemi. Dengan pencabutan status darurat kesehatan
COVID-19 ini maka diperlukan juga kebijakan guna pengalihan dana anggaran bagi
pasien COVID-19 menjadi tanggungan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

2

Bagi masyarakat hendaknya tetap menjaga perilaku hidup sehat, karena bahaya
COVID-19 ini masih mengancam, khususnya bagi orang-orang yang beresiko tinggi."
ungkapnya.

Arcturus, sub-varian Omicron XBB 1.16 lebih mudah menular
Prof. Maksum menjelaskan bahwa Arcturus merupakan sub-varian Omicron XBB.1.16,
pertama kali dilaporkan di India pada 23 Januari 2023. Kini sub-varian baru ini telah
teridentifikasi di lebih dari 31 negara, termasuk Malaysia, Singapura, Thailand,
Australia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Berdasarkan analisis full genome
sequencing, sub-varian baru virus penyebab COVID-19 ini adalah penggabungan
antara sub-varian BA.2.10.1 dan BA.2.75 dengan tiga mutasi pada gen spike protein (S)
nya, yaitu E180V, F486P, dan K478R. Mutasi pada K478R membuat virus Arcturus
lebih kebal terhadap antibodi dalam tubuh seseorang yang telah terinfeksi COVID-19
sebelumnya. Selain itu adanya mutasi gen S tersebut menyebabkan virus lebih cepat
menyebar serta menyebabkan infeksi.
"Walaupun saat ini, belum terdapat data yang menunjukkan bahwa Arcturus ini mampu
meningkatkan tingkat keparahan penyakit dan kematian pada orang yang terinfeksi,
namun karena tingkat penularannya yang cukup tinggi, sehingga WHO telah
meningkatkan status Arcturus ini dari variant under monitoring (VuM) menjadi variant of
interest (VoI). Peningkatan status ini dilakukan karena kecepatan penularan varian
Arcturus yang lebih tinggi daripada sub-varian Omicron lainnya sehingga memicu
kenaikan kasus COVID-19 di beberapa negara akhir-akhir ini. Berdasarkan
pemantauan yang dilakukan oleh WHO sub-varian SARS-CoV-2 XBB.1.16 atau
Arcturus ini memiliki angka reproduktif berkisan antara 1.17 -- 1.27 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan sub-varian XBB.1 dan XBB.1.5, sehingga sub-varian Omicron
terbaru ini menunjukkan kemampuan untuk menyebar dengan lebih cepat", ungkapnya.
Prof. Maksum menambahkan bahwa dibandingkan dengan sub-varian Omicron
sebelumnya, Arcturus ini memiliki kemampuan untuk terikat pada reseptor angiotensin-
converting enzyme 2 (ACE2) pada sel inang adalah 2,4 kali lipat lebih tinggi dari sub-
varian sebelumnya (XBB.1.5), sehingga mencerminkan afinitas ikatan Arcturus ini
dengan reseptornya. Berdasarkan hasil uji pseudovirus di laboratorium menunjukkan
bahwa infektivitas atau tingkat keparahan Arcturus sebanding dengan sub-varian XBB.1
artinya tidak terlalu parah dibandingkan dengan varian Omicron sebelumnya. Arcturus
juga berpotensi dapat menghindari sistem kekebalan yang lebih tinggi daripada XBB.1
dan XBB.1.5.
Arcturus menyebabkan konjungtivitis
Menurut Prof. Maksum, ada dua ciri khas Arcturus. Pertama, demam bukanlah ciri
dominan pada jenis sub-varian Arcturus ini. Kedua, Arcturus dapat menyebabkan

3

konjungtivitis atau mata merah. Konjungtivitis ini muncul lebih banyak jika disebabkan
oleh Arcturus.
"Konjungtivitis merupakan infeksi atau pembengkakan pada konjungtiva, yaitu selaput
tipis dan transparan yang terletak di permukaan bagian mata. Ketika seseorang
mengalami konjungtivitis, pembuluh darah di konjungtiva mengalami peradangan,
menyebabkan warna merah atau merah muda pada mata yang biasanya dikaitkan
dengan konjungtivitis", katanya.
Prof. Maksum juga menjelaskan bahwa walaupun virus Arcturus ini belum dilaporkan
dapat menyebabkan tingkat keparahan dan tingkat kematian yang tinggi, namun harus
tetap diwaspadai bagi beberapa kelompok yang berisiko lebih tinggi terinfeksi virus
SARS-CoV-2 sub-varian Arcturus ini, yaitu:
1). Orang dengan penyakit penyerta atau komorbid. Tingkat keparahan COVID-19
selama ini umumnya terjadi pada orang-orang yang rentan yang memiliki penyakit
bawaan atau komorbid, antara lain seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung,
diabetes, dan gangguan pernapasan.
2). Orang yang belum menerima vaksinasi. Dalam berbagai studi terbukti bahwa
kelompok yang tidak memperoleh vaksin COVID-19 pada umumnya mengalami gejala
yang lebih parah dan berisiko mengalami komplikasi serius, dan risiko dirawat secara
intensif di rumah sakit. Prosentase kematian dialami lebih banyak oleh kelompok orang
yang belum divaksinasi. Oleh sebab itu, penting sekali bagi masyarakat untuk segera
mendapatkan vaksin dosis primer dan booster.
3). Lansia
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa para Lansia lebih rentan terhadap COVID-19
karena imunitas tubuhnya umumnya menurun seiring bertambahnya usia. Selain itu,
banyak Lansia juga memiliki penyakit kronis, seperti diabetes, penyakit jantung, dan
stroke, yang cenderung meningkatkan risiko keparahan bagi mereka yang terinfeksi
virus SARS-COV-2.
"Meskipun saat ini tingkat kedaruratan medis COVID-19 secara global telah dicabut
oleh WHO, namun tetap penting untuk mencegah penyebaran virus ini. Terutama bagi
kelompok orang yang berisiko tinggi, penting untuk tetap menerapkan protokol
kesehatan, dan segera mendapatkan vaksin COVID-19 baik primer maupun booster
guna mencegah penularan dan mengurangi keparahan penyakit. Virus ini mungkin sulit
hilang dan akan terus bermutasi dan itu berarti kita harus tetap menjaga diri,"
pungkasnya, mengakhiri perbincangan santai ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline