Lihat ke Halaman Asli

Pengankuan 4

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Puluhan tahun yang menjijikan dan berbagai hal busuk, sudah aku alami. Semuannya terangkum di pikiran. Andai aku tak dilahirkan untuk hal membosankan ini, aku akan memilih pergi. Dan kalau bunuh diri dibenarkan oleh agama mungkin sejak dulu aku akan melakukan hal itu. Aku sudah cukup menderita. Kau tahu yang dipikiran manusia saat mereka menderita? Menyebut nama Tuhan kah? Bukan, meskipun mereka meneriakkan nama Tuhan dengan lantang, dalam hatinya . . . mereka mengutuk Tuhan yang membuat mereka menderita. Dalam penderitaan seperti itu, bagi manusia semua hal bisa jadi Tuhan, walau pun gelap tak masalah asalkan itu bisa menghentikan penderitaan. Dan itu demi membangun kebutuhan dasar dari manusia. Lalu sampai kapankah, itu tak lagi ditutupi. Yang jelas, semuanya akan terungkap jika kita sudah meninggalkan jasad pemberian Tuhan. Menyedihkan . . .

Angin malam yang enggan menerpaku sedikit membuatku kalut dalam banyak hal. Teriakan anjing menggema seolah-olah mencabik-cabik pikiranku yang kacau. Langit malam bertabur bintang menghanyutkan aku dalam masalah pelik. Semua yang aku lalui, pilih, dan jalani terus menekan dititik kelemahanku. Akibatnya, aku jatuh tersungkur dan terseok-seok oleh permasalahan batin. Bahkan, karya-karya besar Leo Tolstoy pun tak sanggup dijadikan pegangan. Semua karyanya tak ada ke-hampa-an.

Di kamar setitik cahaya tak tampak. Gelap, dingin, dan begitu hampa. Tapi malam ini perlahan cahaya bulan muncul dari balik jendela sedikit memberi harapan. Dengan angkuh cahaya itu menerobos ke segala arah dan jatuh ke diriku, Annio.

Annio berdiri tegak membelakangi cahaya bulan. Sebagian tubuhnya ditimpali cahaya temaram bulan. Seolah dikelabui warna gelap pekat dalam dirinya, lalu ia palingkan wajahnya secuil, tergambar jelas wajah yang penuh iri dan dendam. Raut mukanya sesekali ditimpali cahaya, memberi kesan teramat bodoh dan kacau.

“Ada apa kau ke sini?” ujarku.

“Hanya ingin memastikan sesuatu,” jawab diriku itu. Entah sempoyongan atau apa, ia berjalan sedikit tertatih menuju ke arahku. Sekali lagi, suara teriakan anjing terdengar menyayat hati. Aku paham itu. Lalu sekelebat angin masuk dari celah jendela dan menerpa kami. Diambukan, tapi bisu, begitu yang aku rasakan. Mulutku tak bisa bicara, seperti tersumbat oleh ketakutan dari tatapan dinginnya yang penuh iri hati.

“Nggak ada gunanya kau memastikan lagi!! Semuanya sudah jelas.”

“Di dunia ini tidak ada yang jelas dan pasti. Dan kelihatannya kau sudah membuang kehidupanmu ya?”

“Benar, memangnya ada masalah? Sekarang kau terlihat begitu bodoh. Terus membohongi diri kalau kau kuat. Hidupmu benar-benar palsu.” Setelah aku berkata demikian, wajahnya tetap tak berubah. Dan, aku tetap menatap wajahnya yang kusam. Lalu ia melangkah pelan ke jendela. Memandangi bangunan di luar. Langit malam perlahan diselubungi awan gelap. Cahaya bulan meredup. Gelap pekat. Tak lama kemudian, suara gemuruh terdengar dari balik awan bersamaan dengan kilat.

“Topeng . . .itulah yang sekarang kau kenakan. Di mana ke-jelas-an hidup yang dulu kau banggakan, Annio.” Ujarku pelan. Tak lama kemudian, terdengar hujan turun, rintiknya memukul-mukul tanah, bangunan dan dahan. Hujan tak lebat, tapi membuat suasana sedikit lebih kelam. Menyadari hal itu, aku takut kalau diriku itu mencoba berontak dalam gelapnya malam. Seperti boneka ia berdiri tegak tak bergeming. Bayangan lekuk tubuhnya menyiratkan akan terjadi hal yang tidak diduga. Namun, hal itu terjawab ketika kilat menyala, membaur lekuk tubuhnya dan rasa amarah dari dalam tubuhnya tiba-tiba muncul ke raut wajahnya.

“Semuanya sudah jelas’kan? Kau pun tahu aku sudah membuang ke-jelas-an hidup demi keyakinan.” Katanya pelan namun kelam.

“Ya, aku tahu itu. Tapi, kenapa kau melakukan hal itu, Annio ?”

“Ada kalanya kita harus membuang ke-jelas-an hidup demi sebuah keyakinan. Entah itu terang atau gelap. Demi keyakinan. Di dunia ini, manusia bisa jadi Tuhan. Percaya atau tidak tapi kau sudah mengakuinya secara perlahan. Lalu, ke mana keyakinan yang kau agung-agungkan itu? Kemana? Kenyataannnya, di dalam hatimu ada dua perasaan yang saling bertentangan bukan? Sekarang apa kau sudah jelas?”

Setelah Annio berkata begitu, tiba-tiba mulutku terasa kelu. Kata-kata yang barusan ia ucapkan, memberontak di kepalaku. Membuatku pening.

“Keyakinan... bagiku adalah hal yang penting. Kebencian, kebohongan, bahkan ke-tidak-pasti-an hidup tidak akan bisa mengubah diri manusia yang sudah terbiasa dengan hal itu. Kalau berusaha untuk menolaknya, manusia akan menjadi kacau. Sungguh menyedihkan. Tapi itulah yang kau jalani sekarang . . . ”

“Apa maksudmu?!” geramku. “Kau harus ingat! suatu hari nanti aku akan kembali ke kehidupanku yang normal. Diakui, dipercayai, dan dibutuhkan.”

“OMONG KOSONG!!” teriaknya. ”Hitam tetap saja hitam . . .” sambungnya.

Dan semua kata-katanya kini bergelantungan di benakku. Bahaya kalau aku terbawa perasaannya. Aku mencoba membayangkan diriku dari sisi lain. Sosokku tak tampak, bahkan samar-samar pada cermin. Aku seret kembali bayangan diriku dari sisi lain. Dan tetap sama saja. Samar-samar.

Menjelang akhir malam, aku lenyap dari pandangan karena cahaya bulan. Sekilas aku seperti berada di dalam mimpi. Mungkin, agar aku sadar bahwa ini kenyataan. Aku biarkan diriku tetap di kamar.

Telah terbitkah matahari? Air hujan semakin terang, dan nampak menyala hangat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline