Perairan Nusantara merupakan lautan yang luas, barat ke timur membentang dari Samudera hingga Pua-pua, utara ke selatan membentang dari Moro-Mindanao hingga pulau Jawa-Nusa, menyatukan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan. Pada masa lalu ada negara bernama Sriwijaya dan Majapahit yang pernah menyatukan sebagiannya, puncaknya adalah ketika hampir seluruh wilayah Nusantara bersatu dalam satu panji Islam di bawah naungan Kekhalifahan Turki Utsmani.
Kini, Islam kembali menyatukan jiwa-jiwa di Nusantara, pulaunya yang hijau dan lautnya yang biru dikelola oleh para hamba Allah yang senantiasa taat kepadaNya. Persatuan yang berdiri otomatis karena akidah, bumi Nusantara pun berbahagia karena orang-orang yang memakmurkan adalah makhluk yang sama-sama tunduk kepadaNya.
Laut tenang ketika para penduduknya tidak merusak alam, yang menjadikan musim berubah tak menentu dan menimbulkan bencana di mana-mana. Itulah sunatullah, laut merupakan ciptaanNya yang paling berharga karena dari air lah segala sesuatu yang hidup di bumi tumbuh dan berkembang.
Angin bertiup tak terlalu kencang di utara Nusa, tidak pula terlihat ombak yang bergulung tinggi. Sangat tenang di musim kemarau ini, hanya saja panas matahari memang terik, cukup untuk membangunkan mereka yang tertidur langsung di bawah sinar mentari. Sebuah benda yang terlihat seperti kayu cukup lebar berayun-ayun menuju daratan.
Dilihat dari jauh benda ini mirip sampah lautan, kayu yang terbawa ombak, atau seperti penyu hitam besar yang mencari jalan menuju pantai. Pantai Nusa sendiri sedang tidak sepi, di pelabuhan sebelah barat terlihat dari benda tadi berjejer puluhan bahkan belasan kapal. Benda tadi tiba-tiba bergerak, memunculkan sosok-sosok dari dalamnya yang ternyata adalah manusia.
"Ugh! Panas sekali! Hei, tolong bantu aku menyingkirkan terpalnya!" suara itu membangunkan yang lain.
"Ah.. panas sekali..."
"Aduh.. punggungku..."
"Huff..."
Seluruh tangan yang ada di dalam otomatis mengangkat ke atas, menaikkan terpal berwarna hitam yang menyelimuti mereka.