Lihat ke Halaman Asli

Rendy Artha Luvian

TERVERIFIKASI

Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Manusia dan Politik yang Sesungguhnya (Sejati)

Diperbarui: 14 Januari 2024   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: freepik.com

Manusia tak pernah bisa lepas dari apa yang dinamakan dengan Politik. Politik sudah menjadi bagian dari keberadaan manusia itu sendiri di muka bumi. Ketika Tuhan Pencipta langit dan bumi berkata hendak menciptakan sebuah makhluk bernama manusia yang akan menjadi duta Tuhan di muka bumi, sejak saat itu pula politik menjadi bagian dari diri seorang manusia ciptaan Tuhan, bahkan sebelum ia diciptakan.

Lalu apa yang dimaksud dengan politik? Politik berarti adalah memerintah, mengatur, pun mengontrol atau dan sangat berhubungan erat dengan satu kata, yakni memimpin atau menjadi pemimpin di muka bumi. Oleh karena itu seluruh kegiata politik selalu terhubung baik langsung maupun tidak langsung terhadap kekuasaan. Ketika malaikat pada akhirnya diperintahkan bersujud kepada manusia saat ia diamanahkan untuk menjadi 'Khalifah', itu berarti secara politik manusia menduduki tempat khusus yang diberikan Tuhan bagi mereka. Dalam istilah yang lebih baik, manusia saat itu mendapatkan amanah yang luar biasa besar dari Pencipta langit dan bumi untuk memerintah, mengatur, mengontrol, dan menjadi seorang pemimpin di muka bumi.

Ada makhluk yang enggan untuk bersujud kala itu, yang diabadikan di kitab suci sebagai Iblis, yang berasal dari golongan jin. Manusia lah yang akhirnya memegang amanah untuk memimpin dunia. Tapi ada pertanyaan penting yang diajukan oleh yang tak mau bersujud kala itu, "engapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"

Pertanyaan yang sungguh sangat mengena. Manusia, sudahkah menunaikan amanah Tuhan di muka bumi ini atau justru malah berbuat kerusakan?

Politik baik di dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus selalu diasosiasikan ke kelompok-kelompok yang berkaitan erat dengan kekuasaan. Bisa berupa partai-partai yang masuk ke dalam parlemen, organisasi-organisasi masyarakat yang ada di belakangnya, maupun mereka-mereka yang berkuasa di pemerintahan. Sayangnya, politik tidak terdefinisikan sesuai dengan apa yang seharusnya menjadi inti dari kegiatan politik itu sendiri. Apa itu? Hal tersebut dinamakan dengan 'kebenaran'. Itulah bagian sejati dan sesungguhnya dari politik, memerintah dan mengatur di atas dasar 'kebenaran'.

Lalu apa itu 'kebenaran'? Bila standarnya kemanusiaan, maka pendapat manusia yang satu dan yang lain tentu berbeda, tapi jika standarnya sudah baku, maka 'kebenaran' itu ada di dalam dada masig-masing dari kita, tersimpan di lubuk hati yang terdalam. 'Kebenaran itu berasal dari Tuhan yang menciptakan manusia.

Sebaliknya, politik saat ini selalu dinilai sebagai sesuatu yang kotor dan penuh dengan tipuan. Politik juga selalu diasosiasikan dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, penuh dengan intrik, retorika, dan selalu bergumul dengan kemunafikan manusia, korupsi, kolusi, nepotisme, yang ikut melibatkan tahta dan wanita di dalamnya. Hal yang ditanyakan saat penciptaan manusia itu sendiri, apakah akhirnya manusia itu menjalankan amanah atau justru merusak?

Politik biasanya juga mendapat kesan buruk yang membuat orang-orang yang hidup bersama dengan kebenaran menjauhinya. Orang-orang yang taat dengan agamanya, baik itu nasrani, Islam, Hindu, maupun Buddha cenderung untuk menjauhi politik karena prakteknya yang kotor dan dibumbui dengan berbagai pelanggaran terhadap aturan hidup yang diturunkan Tuhan.

Loh, bukankah inti dari politik itu sendiri adalah memerintah dan memimpin dengan kebenaran? Lalu mengapa orang-orang yang taat hidupnya bersama kebenaran itu sendiri menjauhinya? Hal itu utamanya terjadi setelah sekulerisme merajalela di muka bumi. Peradaban yang berasal dari barat tak hanya membawa teknologi yang mencengangkan namun juga racun yang bernama sekulerisme.

Manusia-manusia di Byzantium zaman dahulu menerapkan hukum Tuhan kepada rakyatnya, begitu pula Raja-raja di Nusantara kala Sriwijaya dan Majapahit berkuasa. Kitab Kutara Manawa adalah salah bukti bahwa nenek moyang kita dahulu patuh dan taat kepada aturan Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline