Sebuah cerpen tanpa dialog oleh Rendy Artha Luvian
Aku menatap jauh ke arah depan, ke balik bukit-bukit yang nampak kecil dan pendek dari sini, menyusuri perlahan sungai yang mengalir jernih. Pohon-pohon hijau menghiasi di sekitarannya, mendampingi tiap sisi jalur sungai yang menuju ke danau, sebuah bulatan kecil yang ada di bawah sana. Suhu tak pernah terasa begitu terik, pun dingin jarang menusuk ke dalam diri. Perasaan tenang dan nyaman selalu berada di hati ini ketika melihat apapun yang ada bersama dengan alam nan asri.
Senyumku pun tersungging tanpa kusadari melihat keindahan ciptaan Ilahi. Tak pernah lagi kulihat tanah yang sesubur ini, di mana-mana nampak bulir-bulir padi yang siap menjadi nasi di rumah-rumah sederhana yang menjadi naungan setiap hari. Tempat di mana jiwa-jiwa manusia-manusia Nusantara berkehidupan setiap hari. Kehangatan seolah sudah kau rasakan ketika baru membayangkan betapa menyenangkannya hidup bersama diantara mereka yang ada di sana.
Senyum dan tegur sapa sudah menjadi hal biasa, tak ada keegoisan, semua hanya hidup apa adanya. Bahkan, hidup bertetangga hampir sama rasanya seperti hidup bersama keluarga. Saling mengasihi, menyayangi, dan bertoleransi setiap hari demi kehidupan bersama yang damai tanpa tercemari kenistaan serta tak lupa mengingatkan jika ada musuh yang mengintai. Setan yang selalu berusaha merusak rasa kebersamaan dan persatuan yang sudah melekat erat di tubuh bangsa Nusantara Raya.
Dahulu, ketika semua bersatu, baik di bawah panji-panji Sriwijaya maupun Majapahit, semua dapat hidup damai. Agama tidak pernah menjadi penghalang, justru itu yang mempersatukan. Keyakinan yang teguh kepada Sang Pencipta Alam menjadikan manusia-manusia Nusantara tunduk kepada Yang Maha Kuasa. Peperangan yang terjadi bukan karena agama, tetapi karena penjajah yang mau memecah belah. Merusak keindahan dari persatuan karena kebersamaan di dalam Ketuhanan.
Mereka yang menganut ajaran Hindu-Buddha hidup dengan aturannya, Kitab Veda dan Tripitaka menuntun manusia-manusianya semenjak dahulu, bahkan yang paling awal. Lalu Islam menggantikan, Al-Quran menjadi cahaya penerang yang menjaga perdamaian. Mereka yang menjadi ahli kitab pun bisa menjalankan tuntunan kitabnya dengan mapan. Pun yang lainnya, asal mereka tidak berbuat kerusakan.
Duh, coba bayangkan, apa yang terjadi kalau koruptor-koruptor itu tidak dipotong tangan? Akan seberapa besar kekayaan negeri ini berpindah tangan? Ke mulut para tikus-tikus besar yang makannya pun sembarangan. Hukum tak akan bisa menjamahnya, bahkan perangkap tikus pun enggan mengatupkan dirinya saat tikus-tikus itu makan. Lebih ngerinya, perangkap-perangkap tikus itu ikut-ikutan makan dari hasil sampingan sang koruptor teladan. Namanya yang paling besar, paling bagus, dan selalu mendapat penghormatan.
Sementara di ujung lain, pegawai biasa yang bergaji apa adanya menerima umpatan, cacian, dan makian karena berusaha hidup benar dan lurus. Mereka yang menggelar sajadah lima kali sehari di masjid-masjid, pun yang selalu beribadah ke wihara, pura, dan gereja. Mereka dekat dengan Sang Pencipta, tapi hidupnya bagaikan orang nista. Padahal mereka selalu menjaga aturan yang diberikan oleh Tuhan Penguasa Alam.
Untungnya, itu cuma khayalanku saja, tak mungkin terjadi di Negeri yang Suci ini. Koruptor-koruptor pasti sudah menjadi target operasi pertama dari hukum-hukum Tuhan yang harus tegak tanpa terkecuali. Menjaga supaya seluruh komponen yang ada dapat berjalan berkesinambungan dan tak tersendat, apalagi terhenti.
Moral menjadi yang utama di Negeri ini, bahkan tak akan kau jumpai lagi baju-baju pelacur yang biasa digunakan artis-artis itu akan ada lagi di sini. Semua menjaga kehormatannya, sekali lagi seperti yang diajarkan Tuhan kepada seluruh manusia Nusantara. Kenistaan hampir tak pernah terdengar lagi, semua hidup dengan akal pikiran yang sehat dan hati nurani.
Duh, coba kalau itu tidak terjadi, mungkin Negeri ini akan dipenuhi kebejatan-kebejatan yang lama-lama menjadi duri. Merusak akal dan hati nurani, yang terlihat dari akhlak serta perilaku manusia-manusia tak tahu diri. Ah, ku sempat mendengar sebuah Negeri lain, mereka menyebutnya dengan Negeri yang berawalan huruf Alif, entah di mana itu, mungkin di sana orang-orangnya sudah gila, hingga membiarkan maksiat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.