Angin bertiup sepoi-sepoi, cuaca sungguh nyaman sekali sore ini. Sandaranku pun terasa empuk, walaupun dari rumah di depan hanya nampak pohon kelapa tua yang menjadi tumpuan punggungku. Tak mengapa, aku mengenal betul pohon tua tempatku berteduh sekarang ini, tempat istirahat favoritku ketika kecil.
Tatapanku menerawang ke arah anak-anak kecil yang bermain di halaman rumah depan. Tak bisa fokus, bibirku sesekali menyunggingkan senyum, ada rasa haru, sedikit sendu, dan banyak rindu di balik senyuman itu.
Hal pertama yang kuingat ketika melihat mereka saling berkejaran pertama kali adalah wajah teman-temanku, yang paling dekat, bahkan kuanggap saudara kandungku sendiri. Mereka pun aku yakin, menganggapku sebagai saudara sendiri. Sayang, kami harus berpisah ketika beranjak remaja.
Ada sebelas orang waktu itu, tujuh laki-laki dan empat perempuan. Usia kami tak jauh berbeda, hanya terpaut satu atau dua tahun saja, yang kuingat hanya umurku, tujuh tahun kala itu. Segala jenis permainan mengasyikkan kami mainkan di dalam rumah dan di halamannya. Di balik pohon ini adalah tempat sembunyi pertamaku ketika bermain petak umpet bersama.
Permainan lawas seperti 'gobaksodor', 'kepala babi', kelereng, bermain karet, lompat tali, ketapel, hingga 'kereta manusia' sering kami mainkan di waktu sore seperti ini. Salah satu waktu bebas favorit kami, sebelum disibukkan dengan kegiatan beribadah dan mengaji hingga waktu makan malam tiba.
Aku masih ingat pernah mendapat mainan mobil-mobilan. Mainan yang hingga kupergi dari rumah itu tetap kujaga, sayang di tempat yang baru aku kehilangannya. Itu satu-satunya mainan yang paling kuingat jelas, karena memberikanku keceriaan di kala harus bermain sendiri. Waktu itu, ada donator baik hati yang memberikan berbagai macam barang bagi kami, aku memilih mainan mobil-mobilan, dan mainan itu kusimpan selama hampir delapan tahun lamanya.
Banyak yang bisa kutemukan dalam memori, kenangan-kenangan akan kebersamaan dan kebahagiaan. Kuingat pertama kali bertemu teman-temanku, ada kesedihan di setiap pandangannya, yang kurasakan juga ada pada diriku. Entahlah, padahal usiaku baru tujuh tahun waktu itu, tapi aku bisa merasakan kesedihan yang ada pada diri kami, yang kusadari itu yang membuat kami cepat untuk saling mengenal. Tak perlu waktu lama, hanya sehari saja kami sudah menjadi sahabat dan teman akrab, bagaikan mempunyai saudara yang tak pernah kami miliki, selama delapan tahun lamanya.
Hanya beberapa yang cengeng, kami semua sadar harus kuat menjalani hidup, tak boleh meneteskan air mata hanya karena masalah sepele. Pengasuh kami tegas orangnya, seorang ibu-ibu tua dan perempuan yang masih muda, aku ingat panggilan keduanya, 'Ummi' dan 'Kakak'. Bagi kami yang tak punya ayah dan ibu lagi, panggilan itu memiliki kesan tersendiri di pikiran dan hati.
Aku selalu ingat nasihat-nasihat 'Ummi' untuk mandiri dan saling menjaga satu sama lain. Tatapannya yang lembut dibalik kata-katanya yang tegas selalu muncul di benakku setiap saat. Tak pernah tahu apa nama lengkapnya sampai aku kembali ke tempat ini, fotonya masih dipajang di ruang keluarga, meski kini 'Ummi' sudah tidak ada lagi.
Saat aku kembali tadi pagi, 'Kakak' menyambutku dengan senyum cerianya, ia ingat kepadaku, begitupun aku, tak akan pernah lupa akan kebaikan dan kasih sayangnya merawat kami sewaktu kecil. Ia sudah menjadi seorang ibu, untunglah ada perempuan muda lain yang menjadi asistennya sekarang dan kejutannya adalah, ia temanku dulu. Salah satu yang hidup serumah denganku selama delapan tahun di rumah itu.