Membahas tentang 'agama Jawa kuno' yang banyak dianut oleh sebagian masyarakat Jawa dahulu kala, sebuah aliran kepercayaan yang dinamakan dengan 'Kapitayan' tidak bisa lepas dari pembahasan. Ternyata terdapat beberapa kesamaan antara agama jawa klasik ini dengan Islam.
Secara demografis, jumlah penduduk yang memeluk aliran kepercayaan Kapitayan zaman dahulu kala lebih banyak ketimbang Hindu atau Buddha yang hanya berkembang di sekitaran istana saja. Baik Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, maupun Singosari, kesemuanya di lingkungan istana memeluk agama Hindu dan Buddha. Sedangkan masyarakat di sekitar, apalagi yang jauh, banyak dari mereka menganut aliran kepercayaan Kapitayan.
Nah, aliran kepercayaan ini sebenarnya tidak mengkultuskan individu atau benda yang notabene adalah sekedar ciptaan Tuhan saja. Oleh karena itu bagi mereka Raja dan orang-orang yang berkuasa hanyalah manusia biasa bukan representasi Tuhan, meskipun tetap harus didengarkan apa yang menjadi titah atau perintahnya. Bagi mereka, hanya ada tempat-tempat keramat, namun demikian tidak ada manusia atau makhluk yang diidentifikasikan sebagai Tuhan ataupun representasinya di dunia ini.
Hal yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Islam. Di Islam, seluruh makhluk ciptaan dan benda-benda di alam dunia ini hanyalah makhluk biasa yang tidak bisa direpresentasikan sebagai Tuhan. Hanya ada tempat-tempat istimewa yang disucikan, seperti Ka'bah dan Masjidil Aqsa.
Oleh karena itu bagi mereka agama di luar Kapitayan merupakan agama yang musyrik. Tentu, hal ini dikarenakan dakwah Islam belum sampai kepada mereka. Kanjeng Sunan Kalijaga yang paling kreatif dalam mendakwahkan Islam sangat bersemangat sekali untuk mengislamkan orang-orang penganut aliran kapitayan ini karena banyaknya kesamaan antara agama Kapitayan dan Islam.
Dalam hal keyakinan dan kepercayaan, Kapitayan hanya percaya kepada satu Sang Pencipta. Monoteisme inilah yang menjadi dasar kesamaan anatara Islam dan Kapitayan. Konsep 'Tan Keno Kinoyo Ngopo' menjadi landasan filosofi dalam penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Arti ungkapan ini yakni 'tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya' ternyata memiliki arti yang sama dengan 'laisa kamitslihi syai'un' dalam Islam, yang berarti 'Tidak ada yang seperti Dia' (Qur'an Surah Ash-Syura, bab 42 ayat 11)."
Cara beribadahnya pun ternyata hampir sama dengan tata cara Sholat orang Islam. Ibadah orang Kapitayan diberi istilah sembah-Hyang, yang artinya menyembang Hyang, Sang Penguasa Tunggal Pencipta Langit dan Bumi. Walisongo yang berhasil mengislamkan orang-orang Kapitayan juga turut berhasil mengidentikkan kata ini dengan istilah Sholat.
Walisongo juga mengadaptasi istilah Sanggar dari Kapitayan, sebuah bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya sebagai simbol Tuhan, berbeda dari arca dalam agama Hindu. Tempat ini digunakan untuk berdoa atau beribadah di Kapitayan, dan Walisongo kemudian mengubah istilahnya menjadi "Langgar" yang mewakili masjid dalam Islam.
Dalam bersembahyang menyembah Tuhan di sanggar, para penganut Kapitayan mengikuti serangkaian aturan khusus. Pertama, berdiri tegak (tu-lajeg) menghadap lubang ceruk (tutu-k) dengan kedua tangan diangkat ke atas, menghadirkan Tuhan di dalam hati (tutu-d). Setelah merasa Tuhan bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan didekapkan di dada tepat di atas hati, dalam posisi yang disebut swa-dikep (memegang ke-aku-an diri). Posisi tu-lajeg ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama.
Setelah tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi membungkuk (tu-ngkul) memandang ke bawah, yang juga dilakukan cukup lama. Kemudian dilanjutkan dengan posisi bersimpuh (tu-lumpak) dengan kedua tumit diduduki. Terakhir, dilakukan posisi sujud (To-ndhem) seperti bayi dalam rahim. Selama lebih dari satu jam menjalani posisi tu-lajeg, tu-ngkul, tu-lumpak, dan To-ndhem, penganut Kapitayan berusaha dengan sepenuh hati menjaga keberadaan Tuhan yang sudah disemayamkan di dalam hati (tutu-d).