Lihat ke Halaman Asli

Rendra Trisyanto Surya

I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

Mengekspresikan HUT RI dengan Cara Berbeda

Diperbarui: 17 Agustus 2018   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ket Photo: Penulis/Rendra Tris Surya/berdiri paling kiri/waktu SMA Kls 1, sedang bersiap-siap menaikkan Sang Saka Merah Putih sebagai anggota Paskibraka pada tanggal 17 Agustus 1977, di stadion "Teuku Oemar' kota Meulaboh, Aceh Barat . Di tengah berdiri membawa bendera: Yunizar, dan paling kanan: Fuady/ Photo: dok pribadi Rendra Tris)

Beberapa minggu sebelum tanggal 17 Agustus, biasanya mulai tampak semarak warna merah-putih di berbagai media masa (cetak-elektronik-internet). Lingkungan tempat tinggal kita juga kemudian mulai ramai dengan berbagai warna dan simbol.

Bendera merah putih kemudian berkibar di tiang yang dipancang di depan halaman setiap rumah, yang kadang dilengkapi pula dengan umbul-umbul tambahan agar lebih terlihat semarak. Di setiap hari Minggu jauh sebelumnya  (hari libur buat semua orang itu), mulai diadakan berbagai perlombaan dan berbagai acara tradisi dengan mengajak sebanyak mungkin warga sekitar untuk berpartipasi.

Lalu Pak RT dan RW menjadi orang yang telihat sibuk, karena menjadi ujung tombak sebagian besar acara-acara tradisi ini, yang mengekspresikan kita sebagai suatu bangsa yang tidak lupa dengan sejarah lahirnya. Tanpa upacara resmi, mereka semua tampak menunjukkan kegembiraan dalam merayakan HUT 17 Agustus ini..

****

Banyak cara memang, bagi masyarakat majemuk ini dalam mengekspresikan rasa gembira dan bahagianya memperingati  "HUT Kemerdekaan RI" yang tiap tahun itu. Ada yang diharuskan instansi tempat ia bekerja, agar hadir mengikuti upacara formal. Kalau tidak hadir maka dipertanyakan nasionalismenya.

Ada pula, warga yang begitu bangga ketika mendapat undangan menghadiri perayaan 17 Agustus ke Istana Negara atau ke Pendopo Pemda Pak Bupati/Walikota di daerahnya. Mereka lalu menjadi sibuk "wara-wiri", mencari baju adat yang sesuai (sebagaimana akhir-akhir ini telah menjadi dress code yang lazim di setiap upacara besar).

Ada pula, yang merayakan rasa syukur ini, hanya dengan kesunyian: berdoa sederhana namun terlihat khusuk di masjid, gereja, kuil, dan berbagai tempat ibadah lainnya. Ya, memang, negara Indonesia tercinta ini, dulu diperjuangkan kemerdekaannya oleh begitu banyak pihak dan tipe orang yang beragam, baik suku, wilayah, maupun agamanya.

Bagi masyarakat awam (kebanyakan) di kampung-kampung. HUT 17 Agustus dirayakan dengan cara yang berbeda namun bersahaja. Seperti mengikuti Lomba Gerak Jalan Santai (sambil bersosialisasi sesama warga) , menonton atau ikut Karnaval, Lomba Panjat Pinang, dan berbagai lomba-lomba lain dalam frame pesta rakyat.

Bahkan, tak jarang, mereka pun bergotong royong membuat panggung musik dangdut di aula desa atau kecamatan (atau di lapangan sekitar) dengan dana sendiri. Mengekspresikan kegembiraan setahun sekali ini. Berbagai bentuk kenclengan sumbangan pun, kemudian bermunculan di berbagai jalan, untuk menutup kekurangan biaya penyelenggaraan pesta rakyat ini.

Dari sisi sosio-budaya, hal ini sebenarnya menarik dan menjadi khas. Menjadi tradisi unik bagi Bangsa Indonesia yang menjadi "pusaka" sejak dahulu. Di "zaman now", ada juga  bentuk ekspresi kegembiraan perayaan ini sejalan dengan hadirnya teknologi informasi dan sosial media, misalnya perlombaan menyanyi di smule, perancangan banner perjuangan di website dan sebagainya.

Dulu, sewaktu remaja (SMA), saya bersemangat mengikuti gegap-gempita mulai dari persiapan dan merayakan 17 Agustus ini. Terutama, ketika lolos seleksi mengikuti latihan berbulan-bulan menjadi anggota Paskibraka di daerah tempat tinggal saya selama dua tahun di Aceh Barat (1976-1978). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline