Lihat ke Halaman Asli

Rendra Trisyanto Surya

I am a Lecturer, IT Auditor and Trainer

Happy Birthday, My Daughter: Dhinda Ayu Amelia (Catatan Kontemplasi dari Seorang Ayah)

Diperbarui: 29 Oktober 2017   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Ketika Dhinda berbagi kue Taart dengan sang Ayah / Photo by: dok pribadi)

Hari ini, Jumat 27 Oktober 2017 adalah hari  Ulang Tahun anak bungsu saya. Saya mencoba berkontemplasi, memaknai dan mengingat-ingat hari bersejarah buat kami itu...

                                                                                                         *******

Waktu itu, saya bersama tiga orang bocah laki-laki kecilku pukul 05:30 pagi,  27 Oktober 1995 itu. Bergegas ke klinik bersalin (setelah sehari sebelumnya Mamanya terbaring di sana). Dengan rasa bahagia, yang karena entah sudah berapa puluh kali berdoa meminta, agar anak saya terakhir ini diberikan seorang putri. Terkabul sudah! 

Terbayang kemudian, bagaimana dia kelak akan dengan apik memperhatikan Mama dan Papanya hingga mjungkin di hari tua. Dan, harapnnya bisa lebih piawai serta peduli di dalam mengurus rumah sebagaimana kodratnya sebagai seorang wanita. Tentu, para "pengawal" kecil saya yang lain, tiga orang bocah kecil laki-laki,  juga sayang ke orang tuanya. Namun, dalam bentuk dan cara mereka sendiri yang berbeda.

Kehadiran putri kecil ini, kemudian mewarnai keluarga kami dalam bentuk lain. Menjadi primadona menyeimbangkan keriuhan rumah sederhana kami di hampir setiap pagi. Khususnya, menyongsong hiruk-pikuk menjelang pagi, waktu mulai sekolah. Mereka semua bak bermain musik pagi  sambil mencerocos pagi yang ceria tersebut. Si kecil perempuan ini selalu berusaha mengimbanginya. Dengan gaya bicaranya yang pelan, berhati-hati, sering terlihat lebih penyabar dan suka mengalah. Dibandingkan karakter abang-abangnya yang kadang tergesa-gesa, keras, spontan dan riuh..  

Saat kami tiba di klinik bersalin "Wulandari" yang berlokasi di jl Gatot Subroto, Cimahi, waktu itu. Rasanya seperti melihat sekuntum kembang mekar baru yang sedang merekah indah. Sejenak saya hampir tak percaya, bahwa bayi perempuan mungil yang hari itu lahir ini adalah anak saya. Saya menatapnya lama. Dia terlihat lemah dan juga rentan. Mungkin karena hari itu baru  'tiba' dari dunia lain.  Tapi, dia terlihat cantik, dengan kulitnya yang putih, bentuk wajah yang oval, dan matanya yang agak sipit. Bibirnya yang merah alami seperti tersenyum, meski tampak matanya sedang meram tertidur pulas.  Saya kemudian merasa merinding: oh, bukankah di sana ada bagian dari diri saya yang dititipkan Tuhan ?  Mungkin dia hari itu bersama beberapa Malaikat mengantarnya ke sini. Dan bayi mungil itu seperti sedang menyapa Mama dan Papa-nya di dalam keheningannya. Lalu, bayi ini saya beri nama Dhinda Ayu Amelia.... Yang arinya: adik termuda (dalam keluarga) yang cantik (Ayu), namun berhati  mulia karena seuka memberi (Amelia). Begitulah waktu itu harapan saya kepadanya...j

Tiba-tiba saya tersentak, saat  suster lewat dan menyapa. "Kok, bayi saya belum menangis, suster..?" tanya saya gusar. "Tidak apa-apa. Dia sehat kok. Anak Bapak ini perempuan. Beratnya sekitar 2,6 kg," ujar suster yang tampak tergesa, bersiap-siap hendak membersihkan dan membedakinya. Tak lama kemudian, terdengar dari kejauhan suara tangisannya di ruang mandi. Suara tangisnya terdengar pelan dan lembut.  Ada rasa bahagia mendengar suara tangisan anak saya ini. Bayiku ini sekarang sudah bisa menangis. Suaranya bagaikan harmoni nada dari surga.."Nanti setelah dibersihkan, Bapak boleh gendong dan jangan lupa memberi azan. Biar  kelak dia akan menjadi anak yang Sholeh.." demikian pesan suster tersebut. Suster yang soleh ini mengingatkan saya akan tradisi di dalam Islam, bagi  setiap bayi yang baru dilahirkan.

Sebelumnya, beberapa proses kelahiran anak yang lain, saya selalu menghindar hadir langsung melihat. Memilih menunggu di rumah saja. Karena saya tak tega melihat proses persalinan yang cukup mengerikan. Namun kali ini, entah mengapa: saya memberanikan diri datang ke persalinan, untuk melihat semua  proses kelahiran tersebut secara dekat.  Bahkan, menggendong dengan spontan bayi rentan yang baru berusia beberapa jam tersebut. Dulu, saya merasa takut bukan kepalang, menggendong seorang bayi. Dhinda Ayu Amelia kemudian saya gendong dengan sangat hati-hati dan dada terasa bergetar. Saya tidak ingin dia tergores sedikitpun. Kemudian saya mengumandangkan azan dengan suara lirih di teliga kiri dan kanannya. Mungkin karena melakukannya dengan  menjiwai, tak terasa beberapa bulir air mata terasa menetes. Entah mengapa, saya begitu treharu ...Usai azan tersebut, saya coba mencari dan memegang  jari-jari mungilnya yang terlihat lemah.... Lututnya dan telapak kakinya tak luput saya amati. Oh, Alhamdulilah, semuanya lengkap!  "Terima kasih, Tuhan...!" seru saya dalam hati. 

Tiba-tiba saya jadi teringat, hebatnya jasa para IBU. Mereka sungguh berjasa melahirkan dan merawat masa-masa awal anak manusia. Betapa tidak! Mereka tidak saja melahirkan bayi mungil yang lemah.  Akan tetapi, juga dengan keikhlasannya membesarkan anak-anaknya tersebut secara bertahap. Berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan berbilang tahun, tanpa terlihat ber-pamrih.... Sampai akhirnya, sang bayi itu pun n pandai berjalan, bisa berbicara, dan menjadi  "manusia"....

***

Esok harinya suasana rumah kami di komplek Puri Cipageran Indah, Cimahi, itu  tidak seperti dulu lagi.  Semua dengan antusias menerima kehadiran anggota keluarga baru ini dengan suka cita, dan dengan berbagai bentuk ekspresi.  "Siapa nama adik, Ma," tanya Angga Yudhistira anak laki-laki tertua saya, yang saat itu masih kelas II SD, terlihat penasaran.  "Boleh Ma, Bobbie gendong sebentar?" kata anak laki-laki kedua saya ini, di lain waktu, yang saat itu masih TK, dengan nada polos...Tentu saja Mamanya menjadi kelabakan mendengar permintaan nekat begitu dari seorang anak yang masih balita. Bobbie Tisna Anandika terlihat gemas melihat adik barunya yang tampak begitu anteng dan tenang, cuek, dan tertidur pulas. Anak bungsu laki-laki saya, yaitu Dimas Try Hanggara pun, yang saat itu masih digendongan.....tampak mengelus-elus pipi adik barunya. Mungkin dia terheran-heran: manusia mungil ini dari mana ya, kok tiba-tiba ada di rumah...?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline